12/15/2014

CEMBOKUR



Mendung tebal menggelayut di langit yang kelabu. Sejak semalam, hujan turun tiada henti. Jam di dinding menunjuk angka sembilan. Namun, sinar mentari enggan melaksanakan tugasnya. Bumi menjadi sendu terbalut dingin dan gerimis yang cukup deras.
            “Ah, rasanya aku malas beranjak pergi. Di pagi sedingin ini lebih enak berselimut lagi,” pikirku. Namun, janji tetaplah janji. Aku menyesali janji yang telah kubuat pagi ini. Dengan malas, aku segera menuju stasiun kereta api.  Suasananya masih belum ramai walaupun keberangkatan kereta  tinggal sepuluh menit lagi dari jadwal. Loketpun masih tutup. Hanya satu yang sudah terbuka, tapi itu untuk jurusan Surabaya. Aku menuju loket itu. Namun, ditolak, salah jurusan.  Aku menunggu loket dibuka dengan perasaan dag dig dug tak karuan. Suasana stasiun yang biasa penuh sesak, pagi ini cukup sepi. Kursi-kursi  yang berderet rapi tampak bosan menanti. Penumpang tak banyak hari ini. Mungkin mereka enggan keluar rumah.
            Tak lama kemudian, loket pun dibuka. Aku segera membeli empat tiket. Teman-temanku sudah duduk manis di kursi tunggu dekat pintu pembatas. Biasa narsis berfoto-foto ria. Belum lama kursi itu kududuki, panggilan untuk para penumpang sesuai jurusanku terdengar nyaring. Dengan langkah berat, aku melangkah menuju pinggir rel. Terdengar suara kereta dari kejauhan. Perlahan menuju ke tempatku. Dengan segera, kami berlompatan naik. Memilih tempat duduk yang sudah penuh. Untung masih ada sisa sedikit.
            Kereta yang tak sabar segera beranjak pergi melanjutkan perjalanan menuju stasiun terakhir. Melewati deretan rumah-rumah yang berdesakan. Melewati pepohonan yang berlomba dengannya. Dan, tanpa memakan waktu yang panjang, kami telah sampai di stasiun terakhir. Kami langsung mencari jemputan, taxibike. Belum datang. Kembali kami menunggu. Rasanya, perjalanan kali ini tak selancar biasanya. “Mungkin karena setengah hati, ya?” pikirku.
“Kita jalan aja, yuk! Daripada lama menunggu. Siapa tahu, kita bertemu mereka di jalan,” usul Onnie, temanku.
“Aduh, kakiku sakit nih. Lututku cedera, gak bisa jalan jauh,” jawab Aal, temanku yang lain.
“Pelan-pelan aja deh. Daripada cape menunggu,” jawab Onnie.
 Dia tetep ingin jalan, olah raga gratis. Akhirnya, kamipun mengikuti keinginannya, setelah lama menunggu tanpa ada kabar. Ditemani gerimis yang cukup deras dari tadi, kami menyusuri jalanan beraspal. Belum jauh kami berjalan meninggalkan stasiun, taxibike pun datang. Lagi-lagi sial. Motor yang menjemput hanya dua sedangkan kami berempat. Aku memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan bersama Onnie.
“Tempatnya tak jauh dari sini, kok. Tunggu aja di jembatan. Nanti kami jemput di sana,” ujar pak ketua yang baik hati itu.
            Kami kembali melangkahkan kaki dibawah guyuran hujan yang mulai deras. Kami mengamati tempat sekitar, mencari tempat berteduh. Nihil. Hanya ada tembok dan pepohonan. Kami bergegas. Jaketku mulai basah. Kami berhenti sejenak untuk menangkis hujan dengan jas antibasah. Hujan kembali membasahi bumi dengan penuh semangat. Aku melihat sebuah warung di depan sana. Kami berlari ke arahnya agar bisa segera berteduh. Sepanjang jalan tadi, kami tak melihat jembatan.
“Masih jauhkan perjalanan ini ?” pikirku masgul.
Rasa malasku untuk sampai di tempat tujuan semakin membesar. Rasanya aku ingin segera pulang saja. Kembali ke rumahku yang pasti memberikan kehangatan. Aku menatap tumpukan pasir yang cukup tinggi di sebrang jalan.  Banyak motor melintas melewatinya. Hujan mulai reda. Onnie menanyakan alamat tempat pertemuan kami kepada pemilik warung. Masih cukup jauh ternyata. Kami segera melanjutkan perjalanan.
“Teman-temanku pastinya sudah menikmati liwet yang disediakan tuan rumah. Tidak kedinginan seperti ini,” batinku.
            Kami kembali mencari jejak sesuai petunjuk yang ada d sms. Sekitar lima belas menit kemudian, kami segera menemukan sebuah perusahaan yang cukup terkenal di daerah itu. Di sanalah, kami harus menunggu. Hujan kembali mengguyur. Kami lalu berteduh di emperan toko. Tak jauh dari gerbang perusahaan. Sepertinya, alam tak merestui kami melakukan perjalanan ini. Tiba-tiba….
“Onnie, dimana ?” tanya sebuah suara dalam telepon genggam Onnie. Dia sengaja mengaktifkan speakernya agar suara itu tak tenggelam dalam ributnya hujan dan obrolan orang yang berteduh agak jauh dari kami.
Kau tahu, teman? Ternyata kami tersesat. Tempatnya terlalu jauh dari penjanjian tadi. Jembatan itu sudah terlewat.
“Hah ?!” Dari tadi kami tidak melewati jembatan, kan?” tanyaku heran.
“Yup!” jawab Onnie pendek.
“Kita disuruh menunggu di sini saja,” lanjutnya.
            Tak sampai sepuluh menit, taxibike itu datang juga. Kami segera melesat pergi. Jalanan kampung yang tidak begitu luas ini cukup menanjak. Setelah berbelok dua kali, kami sampai di tempat tujuan. Teman-teman yang lain masih menunggu. Liwet belum matang. Kami akhirnya menanti sambil ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Sedang asyik-asyiknya bercengkrama, sesuatu yang berat menubruk kakiku. Lingkaran pun terpecah. Teman-temanku segera mebubarkan diri, saat melihat kakiku ditabrak. Aku tak bisa menghindar. Bangunan rumah menghalangiku. Aku terpojok. Di depanku, dia menanti dengan garang. Tatapan matanya tajam menatapku. Ada nada marah di raut wajahnya. Kebenciannya memuncak tanpa kutahu sebabnya. Dengan membabi buta, dia menyerangku secara terus-menerus. Kakiku menjadi sasaran kemarahannya. Aku menjerit minta tolong. Tak ada seorangpun yang bisa menghentikan kemarahannya. Kutendang dia sebisaku. Sedikit menjauh. Lalu, menyerangku lagi.
“Dia cembokur tuh,” kata seseorang di depanku. Suaranya sayup-sayup kudengar. Lemah. Hilang dari pendengaranku.
Dia semakin ganas menyerangku. Aku menjerit-jerit ketakutan. Dia melompat-lompat seolah-olah ingin mencakar wajahku. Aku harus memberanikan diri. Aku tak mau celaka karenanya. Aku terus menendang. Dia terus menyerangku. Tak mau menyerah. Sampai akhirnya, sang mpu ayam jago itu datang menghalaunya. Seperti dihipnotis, dia terkulai layu dan menjauh dariku.
           

REVIEW NOVEL DUA MASA DI MATA FE



 Judul                      : Dua Masa di Mata Fe
 Pengarang              : Dyah Prameswarie
 Penerbit                 : Moka Media
 Tahun Terbit         : 2014
 Jumlah Halaman  : 219

            Fe, seorang gadis Cina yang bernasib tragis akibat peristiwa politik, kerusuhan 1998. Peristiwa itu secara tidak langsung juga memberikannya sebuah cinta yang manis. Perjalanan antara dua kota berbeda provinsi  semakin menyuburkan rasa indah itu. Namun, konflik demi konflik menghadangnya. Akankah keduanya bersanding di pelaminan ?
Kisah cinta yang penuh misteri karena lahirnya perbedaan berangkaian menjadi sebuah alur cerita yang menarik. Berlandaskan pada alur campuran, peristiwa demi peristiwa diuraikan satu per satu. Inilah kekuatan novel berlatar politik itu. Peristiwa politik dikemas sedemikian rupa untuk menciptakan konflik. Ketegangan demi ketegangan bermunculan dari tokoh-tokoh lain. Fe meringkuk diam.
Berbeda dengan yang lain, novel ini ibarat jalan tol. Cerita berjalan lurus tanpa hambatan dan regresi. Namun, pembaca diikat oleh satu misteri yang kuat sampai akhir cerita, sehingga kebosanan bisa tereliminasi dengan sempurna. Kesederhanaan cerita ini biasanya memang ada pada novel remaja.
Selain itu, kebersahajaan itu juga tercermin pada pendeskripsian latar kota dan bahasa. Pembaca kurang mendapatkan informasi baru tentang kota yang menjadi latar dalam novel ini. Namun, kita akan mendapatkan satu kejutan yang menarik sebagai penawarnya. Pembacapun dapat menikmati cerita secara santai karena bahasa yang tersaji cukup mudah dimengerti. Tidak ada bahasa alay atau bahasa gaul khas remaja. Bahasanya cukup formal agak berbeda dengan dunia remaja pada umumnya.
Secara keseluruhan, novel remaja ini bisa dinikmati dengan sepenuh rasa walaupun mengangkat masalah politik. Namun, cinta tetap menjadi bumbu khas dunia remaja. Ada akar permasalahan yang patut kita renungkan bersama. Apakah generasi masa kini akan mewarisi sikap generasi sebelumnya atau justru mampu mendobrak kebiasaan tersebut ? Novel ini adalah seberkas sinar menuju pada langit biru di masa depan. 

PENGENALAN BUDAYA INDONESIA


Mengamati Batik

Ada yang berbeda dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum 2013. Seingat saya, baru kali ini ada bab khusus tentang budaya Indonesia. Kekhawatiran tenggelamnya budaya Indonesia oleh budaya asing, seperti Jepang dengan harajuku-nya dan Korea dengan film-nya ( atau K-pop) mungkin menjadi penyebab munculnya pengenalan budaya Indonesia dalam kurikulum ini. Selain itu, pengakuan budaya kita oleh negara lain juga mungkin menjadi penyebabnya. Jika dilihat sepintas, memang kita melihat sebagian generasi muda Indonesia kurang bersahabat dengan budayanya sendiri. Betapa banyak contoh kasusnya, misalnya: jarang siswa yang mau bergabung dengan ekstrakurikuler tari tradisional. Jarang sekali siswa memainkan alat musik tradisional, seperti gamelan atau degung. Namun, jika bermain band,mereka sangat antusias. Demikian halnya dalam kehidupan sehari-hari. Generasi muda Indonesia jarang berinteraksi dengan budaya Indonesia. Adakah yang menggunakan baju adat Indonesia ? Adakah yang bermain calung ? Masih adakah generasi muda yang memainkan permainan tradisional ? Adakah generasi muda yang peduli dengan kearifan dan  nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ? Dan juga seribu pertanyaan lainnya. Inilah beberapa hal yang memunculkan kekhawatiran musnahnya budaya Indonesia di abad modern ini.  
            Namun,kekhawatiran itu sedikit terobati dengan betapa banyaknya budaya Indonesia yang dibawa oleh para siswa ke dalam kelas. Sekaligus juga, hal ini makin menyadarkan dan meyakinkan  diri kita tentang kekayaan budaya Indonesia. Ketika akan membahas teks deskripsi, mereka diharuskan membawa sebuah foto atau gambar atau benda budayanya secara langsung. Hasilnya sangat menakjubkan. Para siswa itu, ada yang membawa gambar tari pendet, tari merak, tari Saman, dan wayang. Selain itu, para siswa juga ada yang membawa benda budayanya secara langsung, seperti karinding, suling bambu, sasando, angklung, boboko, aneka kain batik atau baju batik, songket, songket (kain) Lombok, tas laptop batik, dompet batik dan sebagainya.
Sasando 

Angklung

Boboko

Batik

Alat Musik Karinding

Songket

            Selanjutnya, dengan benda-benda tersebut, mereka dengan asyik mengamati benda-benda itu untuk menuliskan sebuah teks deskripsi. Banyak pertanyaan yang muncul. Disinilah, baru kusadari betapa penting dan perlunya informasi tentang budaya Indonesia secara luas, mendalam, akurat, bebas dan mudah didapat. Pemerintah atau pihak lain perlu menyediakan ketersediaan informasi ini secara mudah dan dekat dengan kehidupan kita. Mungkin lembaganya sudah ada tapi kurang memasyarakat. Upaya kearah sanapun sudah mulai tampak, misalnya pada acara Dahsyat di RCTI. Setiap Sabtu, mereka menampilkan berbagai macam pertunjukan budaya, berupa musik atau informasi budaya Indonesia secara sekilas. Hal ini perlu lebih diperdalam lagi dan dimasyarakatkan kembali sehingga budaya Indonesia tidak berada di awang-awang tetapi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia secara umum.  Pengakuan Angklung, Batik, dan Rendang oleh dunia ( UNESCO ), mudah-mudahan menjadi pembuka lahirnya kecintaan kita pada budaya Indonesia!  Marilah membumikan budaya Indonesia di tanah air Indonesia dan dunia !
Suling Bambu

ULEN INOVATIF



Adakah yang tahu arti kata ulen ? Orang Sunda pasti mengetahuinya, ya ! Ulen merupakan cemilan yang terbuat dari beras ketan putih. Makanan ini biasanya sering muncul pada saat lebaran. Setelah menikmati makanan yang bersantan dan kupat habis, ulenlah yang menjadi makanan berikutnya. Ulen ini biasanya disajikan bersama oreg atau kakaren makanan lebaran yang ditumis atau dicocolkan pada sambal oncom yang segar dan pedas. Anda jangan menyamakannya dengan ketan bakar yang sering menjadi sasaran wisatawan di Lembang, ya ! Ulen dan ketan bakar memang sama-sama terbuat dari beras ketan. Namun, ulen biasanya digoreng atau disangan. Ukurannyapun lebih kecil dan tidak sepadat ketan bakar. Selain itu, penyajiannyapun agak berbeda. Ketan bakar biasa disajikan bersama sambal oncom dan sangria kelapa berbumbu, sedangkan ulen dinikmati bersama sambal oncom, oreg atau dimakan tanpa pendamping apapun. Rasanya maknyus luar biasa !
            Berkat kunjungan pada laman kuliner cimahi di facebook, di sini  pada tahun ini, sekitar bulan Oktober, saya menemukan ulen yang berbeda dari biasanya. Ulen ini disajikan berbeda dari penampilan umum. Biasanya, ulen tanpa isi, kali ini ulen diberi isi. Mungkin terinspirasi dari cireng isi, ya Teh Reni ? Isinyapun sesuai selera modern, yaitu: keju, ayam pedas dan ayam original. Anda berminat ? Ulen ini ditawarkan dalam bentuk matang atau mentah. Harga perpaket dengan isi 10 biji kurang dari Rp 50.000,-. Rasanya mantap pool ! Legit dan gurih, apalagi dimakannya masih anget-anget. Isinya juga padat dan banyak. Berasa banget di lidah.Wow… rrruuuaaar biasa !  Anda pasti dijamin akan ketagihan. Makanan tradsional yang bersaing secara internasional. Salah satu karya inovasi anak muda Cimahi. Perlu diapresiasi !
Ulen ayam original
Ulen Keju

Featured Post

Fiksi Mini: Aurora

  Semangat sekali aku menyambut tahun ajaran baru ini. Setelah liburan selama dua minggu, energiku terisi penuh. Langkahku tegap menuju kela...