Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Give Away 2013 : Aku dan Pohon |
Mobil melaju dengan tenang menapaki
jalanan hitam beraspal yang masih sepi. Aku membuka kaca jendela mobil. Udara
segar terasa memenuhi paru-paru. Dingin membuat kulit ini terjaga seperti
seorang satpam yang siap siaga menjaga keamanan. Perjalanan Bandung- Cianjur
terasa sejuk. Pemandangan indah sepanjang jalan terasa memanjakan mata. Barisan
pohon-pohon hijau berlari-lari mendampingi mobil kami. Perjalanan terasa indah.
Sawah luas yang terhampar bak permadani turkipun turut menyemarakkan perjalanan
ini. Hijau dan kuning silih berganti. Suasana seperti inilah yang paling
kusukai dalam sebuah perjalanan. Warna-warna alami dari aneka pepohonan. Tak
ada pohon amatlah gersang terasa. Banyak pohon amatlah ceria dan hidup. Sedap
dipandang mata. Menyejukkan dan menenangkan urat syaraf. Dua anak kecil
laki-laki turut membuat suasana meriah semakin meriah. Mereka menjelajahi
setiap bagian kendaraan, mulai dari depan sampai belakang. Pindah-pindah tempat
duduk. Berebut makanan. Menggoda para ate yang asyik bercengkrama. Keceriaan
pohon-pohon di sepanjang jalan berpadu dengan keceriaan suasana dalam mobil
yang kami tumpangi. Canda dan tawa selama perjalanan membuat waktu dan jarak
begitu dekat.
Tak terasa, kami telah memasuki
wilayah kota Cianjur. Pohon berubah wajah menjadi hutan beton. Suasana kota
mulai ramai. Kendaraan berbagai jenis keluar masuk terminal silih berganti.
Jalanan agak macet di daerah sekitar Ramayana. Orang-orang bergerombol di
pinggir jalan. Angkot dengan sabar menanti penumpang. Mobil yang kami tumpangi
merayap perlahan menuju puncak. Kembali meninggalkan suasana kota yang gerah
dan menyambut hijaunya pepohonan yang memberikan kesejukan udara. Perjalanan
masih berlanjut.
Waktu belumlah genap jam dua belas
siang. Sebelum adzan dzhuhur berkumandang, kami telah memasuki daerah Cibodas.
Kami mencari rumah tujuan. Di sepanjang jalan, kami melihat banyak tanaman hias
berderet rapi. Beraneka jenis, mulai dari ukuran kecil sampai besar.
Bonsai-bonsai nan indah bagai pagar ayu yang menyambut tamu. Akhirnya, kami
sampai di tempat tujuan. Rumah mungil sesuai alamat yang tercatat.
Suasana rumah sepi. Kami berkeliling
mencari penghuninya. Waktu terus berjalan. Setelah lama menikmati halaman rumah
yang dipenuhi aneka tanaman hias, akhirnya pintu rumahpun terbuka. Seorang
perempuan paruh baya berjilbab menyambut kedatangan kami. Wajahnya tak
sumringah. Bingung. Sorot matanya menyimpan kesedihan dan kegelisahan. Kebaya
lusuh yang dipakainya seolah-olah mewakili perasaannya. Tangannya yang sudah
mulai berkeriput dan berwarna coklat tua melebarkan pintu. Dengan rasa kaget,
ia mempersilakan kami untuk duduk di dalam rumah. “Ke antosan sakedap ya, Pak guru na nuju kaluar heula. Istrina nembe
ngalahirkeun,” ujarnya menjawab teka-teki itu. Setelah itu, beliaupun
menghilang dibalik tirai. Lama tak muncul, membuat kami merasa menjadi tamu
yang datang tak diundang. Datang pada waktu yang salah. Rumah bernuansa sunda
itu lalu menemani kami. Bilik coklat menjadi saksi bisu. Kami hanya
berbisik-bisik, takut mengganggu tuan rumah.
Penantianpun
berakhir dengan kemunculan kembali perempuan paruh baya itu. Beliau mengajak
kami masuk ke tengah rumah. Dia menghampiri seorang wanita yang sedang
menggendong bayi mungil. Berwajah putih. Berambut keriting pendek. Wajahnya
khas kedaerahan. Masih mengenakan kain. Perutnya terlihat membuncit. “Mungkin
inilah istri Pak Jana yang baru melahirkan itu,”ujarku dalam hati. Kami
tersenyum, bersalaman dan duduk mengelilinginya. “Bayi ini lahir sungsang,”
ujar perempuan paruh baya itu dengan logat Sundanya yang kental.. Ternyata
beliau adalah mertua Pak Jana. “Aduh, ibu
mah meni rewas pisan Neng, sieun aya naon-naon ka pun anak,” ujarnya lagi
masih dengan kekagetan dan ketakutannya. Wajahnya terlihat serius. Garis-garis
keriputnya menegaskan rasa takut itu. Tubuhnya gelisah. Tangannya mengusap air
mata yang keluar dari matanya. Suaranya berubah parau. “Ibu teh ngadoa weh kanggo pun anak sareng incu, supados saralamet,”
katanya lagi.
Suasana hening terasa.
Tak ada yang berkata-kata. Duka menyelimuti. Berempati pada rasa gelisah yang
dialami perempuan paruh baya itu. Aku kembali mengingat-ngingat tegangnya
suasana menanti kelahiran seorang makhluk mungil di rumah sakit. Jantung
berdebar tak menentu. Hati gelisah dengan sejuta tanya. Selamatkah atau
berakhir di sini ? Diam. Semuanya asyik dengan pikiran masing-masing sambil
menatap bayi mungil di pangkuan. Masih merah.
“Karunya pun incu teh, teu acan tiasa nyusu. Cai susuna teu ayaan. Teu
kaluar,” lanjut perempuan paruh baya itu. “Makan daun katuk aja atuh,”
kataku tiba-tiba. Sontak semua tertawa mendengar jawabanku. “Budak leutik,”
ujar temanku. Mungkin mereka heran dan merasa lucu dengan jawaban itu yang
berasal dari perempuan tanpa punya pengalaman melahirkan. “Kata mamah,” balasku
polos. Aku memang sering mendengar
petuah orang-orang tua di sekitarku, jika ada yang melahirkan apalagi air
susunya tidak ada, maka para ibu itu wajib makan daun katuk. Makanya tak aneh,
jika aku berkunjung pada saudaraku yang melahirkan, menu rebusan daun katuk itu
selalu tersaji dalam sebuah piring kecil. Para ibu muda itu wajib memakannya
dalam menu harian mereka. Jika tidak, para sesepuh dalam keluargaku akan
memberikan penjelasan dan nasehat yang luar biasa panjang lebar. Alhasil,
memang ada manfaatnya. Asi yang keluar selalu banyak dan lancar.
Tak terasa, obrolan kami telah memakan waktu
hampir separuh hari. Sahabat yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Entah
mengurus apa Pak Jana di luar, hingga memakan waktu hampir seharian. Perut
mulai bernyanyi minta diisi. Tenggorokan terasa kering kurang minum. Tak ada
hidangan yang kami harapkan. Kue-kue khas kampung yang biasa ada di toples pun
tak tampak. Segelas airpun tampaknya tuan rumah lupa menyajikan untuk para tamunya.
Kekagetan dengan peristiwa yang baru saja terjadi mungkin menimbulkan amnesia
parah pada tuan rumah. Cinderamata tanaman hiaspun pupus tanpa hasil. Kami
berpamitan pulang pada tuan rumah dengan lesu. Kami pulang dengan tangan hampa.
Mobil perlahan meninggalkan kemuraman yang baru saja terjadi. Tanaman hias di
sepanjang jalan melambai rindu. Pesonanya adalah angan-angan kami yang belum
berhasil diraih. Keindahannya merupakan janji yang belum terpenuhi.
Seputar Daun Katuk
Katuk
dengan daun dan buah
Sumber
Wikipedia
|
||||||||||||||
|
||||||||||||||
Sauropus
androgynus
|
Apakah
benar daun katuk berkhasiat seperti itu ? Ternyata benar ! Berdasarkan
Wikipedia berbahasa Indonesia, daun katuk (Sauropus androgynus) merupakan
tumbuhan sayuran yang banyak tumbuh di daerah Asia Tenggara. Ada beberapa
istilah untuk daun katuk ini. Contohnya: Mani Cai (Tionghoa), Cekur manis
(Melayu), dan Rau Ngot (Vietnam).
Daun
katuk ini merupakan sayuran minor yang berkhasiat memperlancar aliran ASI (air
susu ibu). . Kandungan gizi yang ada pada daun katuk ini adalah 7% protein, 19%
serat kasar, juga kaya dengan vitamin A, pro vitamin A (beta karotena), B, dan
C. Daun ini juga mengandung mineral, seperti: kalsium, (2,8%), besi, kalium,
fosfor, dan magnesium. Kandungan klorofilnya juga tinggi dengan ciri warna daun
yang gelap. Daun katuk ini dapat diolah seperti kangkung dan bayam. Perlu
diwaspadai bahwa daun katuk mengandung papaverina, suatu alkaloid yang juga ada
pada opium. Jadi, janganlah berlebihan dalam mengonsumsi daun ini !
Give Away Aku dan Pohon