3/28/2015

BEBEK KALEYO MAKNYUS



Siang yang agak redup mencari makan di daerah Pasteur. Aku ingat ada baso Solo yang terkenal enak. Tetapi apes ternyata  tutup. Untungnya di ujung jalan, pas belokan jalan Pasir Kaliki ada tempat makan baru. Katanya sih baru dibuka 30 Januari 2015.  Mau tahu namanya ? Yup, betul Bebek Kaleyo. Kata temen-temen makanannya enak, lho ! So, siang itu aku mangkal deh di sono.
           
pesen makanan yuk
Makanan yang kupesan adalah nasi merah, bebek peking, sate bebek dan kutantang diriku pada sayuran pahit yang sering dihindari orang banyak, yaitu tumis pare dan daun  pepaya. Untuk minumnya, aku memesan jeruk hangat. Tak sabar aku  ingin  menikmatinya.  Aduh, makanan yang kubawa ternyata cukup banyak. Ah, untung ada mas-mas yang cekatan membawa nampanku sampai di meja. Alhamdulillah, hari ini jadi bu Mega. Pelayanan prima.
         
Menu Bebek Peking dan Sate Bebek

  
Sambil menikmati alunan  musik, aku mulai menikmati hidangan di Bebek Kaleyo. Ssst… ini Tempat Makan  Enak,  Nyaman dan Murah di Bandung, kuliner bandung lho. Rasanya ? Suapan pertama membuatku ketagihan. Daging bebek pekingnya empuk, berbumbu dan maknyuuuss luar biasa !  Tambah segar dengan sambal mangga. Ajaibnya lagi, temanku  yang semula tidak suka bebek jadi ketagihan. Pas banget, kaleyo. Mindo lagi. Ketagihan. Pengen dua kali  bahkan mungkin lebih. Rekomendasi temanku ternyata benar. Enak banget ! Pare dan daun pepaya yang pahitpun menjadi santapan yang nikmat. Kekhasannya masih ada tapi cara pengolahan dan bumbu rahasianya menjadikan makanan pahit ini nyaman di lidah. Sampe-sampe dua pring kecil sayuran itu licin tandas,  tak bersisa. Luar biasa ! Sate bebeknya ? Super empuk ! Ah, benar-benar makan siang yang menggoyang lidah. Kaleyo… Kaleyo… Kaleyo !
            Bagi Anda yang suka bebek, banyak menu yang ditawarkan. Bebek Cabe Ijo, bebek bakar, Bebek Cetar, Bebek Kremes, Bebek Rica, Bebek Muda, Bebek tanpa kulit, Bebek Utuh. Harga yang paling mahal adalah bebek utuh Rp 98.000,-. Namun jika tak suka, ada juga menu ayam goreng kremes, ayam cabe ijo, ayam bakar, ayam sori dan ayam cetar. Selain itu, minumannya pun bermacam-macam. Ada the leci, sop durian, jeruk hangat, es campur, wedang jahe, es lidah buaya, es mangga, es pala, es kelapa batok, es kelapa jeruk dan jus stamina. Dengan ragam menu pilihan itu, tempat makan ini cocok untuk rame-rame.
           
Bebek Kaleyo, Pasir Kaliki
Tempat makan ini ada di pertigaan jalan Paster dan jalan Pasir Kaliki. Tempat makannya pun nyaman banget. Lapang,  luas dan bernuansa jawa dengan kayu-kayu jati. Joglo dengan tiang-tiang besarnya dan meja-meja serta kursi kayunya.  Serasa kuliner di kampung Jawa dengan angin semilir menerpa wajahku.  Betah   rasanya berlama-lama di sini sambil menikmati dim sum. Ngobrol bareng teman. Bercanda. Pokoknya tempat ini nyaman untuk nongkrong sambil makan-makan. Narsis juga bisa. Banyak juga keluarga yang datang ke sini. Ah, benar-benar tempat yang  nyaman. Walaupun berada di pinggir jalan, tapi suasana tetap adem. Bebek Kaleyo memang juara ! Makan lagi di sinih nyoo ! Harganyapun tak menguras kantong ! Benar-benar asyik. Bebek Kaleyo Tempat Makan Enak dan Murah di Bandung ! Anda berminat ? Silakan datang saja ke Jalan Pasir Kaliki no 185-189 ! Perempatan jalan Pasteur, sebrang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Sekali datang pasti Kaleyo !

3/23/2015

REVIEW FILM ADA SURGA DI RUMAHMU


BAHAGIA DAN SUKSESMU TUH DI SINI

           
Ada Surga di Rumahmu, Mizan Production

Ramadhan dikirim oleh orang tuanya ke pesantren agar menjadi orang yang berhasil. Setelah bertahun-tahun belajar dan mengabdi di pesantren, ia dan sahabat-sahabatnya ingin mencari sesuatu yang baru. Kesempatan itu datang, saat pesantren menjadi lokasi syuting. Seorang crew film memberikan sebuah penawaran kepadanya untuk mengembangkan kemampuan bela dirinya. Akhirnya, ketiga sahabat itupun merantau ke Jakarta dengan impian besar. Sayang, jalan tak semulus harapan. Ada saja hambatan yang datang untuk mencapai impian itu. Pada akhirnya, Ramadhan kembali pulang ke kampung halaman. Ia mengkhawatirkan ibunya yang sakit keras. Setelah kepulangannya itu, ia berkesempatan menjadi penceramah untuk menggantikan gurunya, ustadz Attar. Akhirnya, ia berhasil memenuhi keinginan orang tua menjadi ustadz.
          Film ini memiliki nilai didaktis yang sangat tinggi. Di tengah arus modernisasi dan materi, film ini menawarkan suatu kebutuhan mendasar manusia yang sudah mulai dilupakan bahkan ditinggalkan orang. Hidup bukan hanya sekedar mengejar kebutuhan duniawi yang tak berbatas. Namun, membahagiakan orang tua adalah hal utama dalam hidup manusia. Tanpa disadari, kita sudah mulai mengalahkan kepentingan orang tua dengan kepentingan duniawi. Ustadz Ahmad Al Habsy mengatakan, “ Ibu akan rela berkorban untuk 10 orang anaknya. Namun seorang anak belum tentu bisa mengorbankan segalanya demi seorang ibu. Demikian pula dengan ayah. Ayah akan berjuang sekuat tenaga untuk kebutuhan sepuluh anaknya. Namun, belum tentu, seorang anak akan melakukan hal yang sama seperti itu. Satu nasehat yang mampu menohok ulu hati kita. Betapa selama ini, kita sering mengabaikan dan melupakan jasa-jasa orang tua. Mengabaikan mereka demi karir dan kebutuhan duniawi lainnya. Kesuksesan dan kebahagiaan itu sangat dekat dengan kita. Kesuksesan dan kebahagiaan itu adalah ridha orang tua. Dengan ridha orang tua, segala urusan hidup kita akan mengalir dengan lancar. Inilah makna yang tersirat dalam judul film ini, Ada Surga di Rumahku.
            Mengamati dialog-dialognya, film ini cukup banyak menggunakan bahasa Palembang. Tapi, kita tidak perlu khawatir, karena ada terjemahannya langsung menggunakan bahasa Indonesia. Di samping itu,  banyak juga kalimat-kalimat bertuah yang bisa menjadi pelajaran untuk kita. Ilmu itu dekat dengan orang yang berani. Banyaklah bergaul dengan orang-orang yang berilmu. Cintai orang yang cinta ilmu. Ridha orang tua adalah sumber keberkahan hidup. Kunci surga adalah orang tua yang mendekatkan diri kita kepada surga.
Di samping itu, selama tayangan film ini, mata kita senantiasa dimanjakan dengan pemandangan alam yang memukau. Kharisma Jembatan Ampera dan sungai Musi yang memesona. Selain nilai didaktis, pendeskripsian latar film ini cukup sempurna.
Dari segi alur, film ini termasuk datar. Konflik yang muncul kurang dikembangkan menjadi sesuatu yang menarik. Kita tidak akan menemukan pemikat berupa konflik yang tajam dan menegangkan seperti di film-film pada umumnya. Jalan menuju surga itu sangat datar, tidak ada aral melintang seperti dalam kehidupan nyata. Cinta segitiga antara Ramadhan, Nayla dan Kirana hanyalah bumbu penyedap yang kurang memberikan rasa. Demikian pula, warga masyarakat yang menentang ceramah ustadz Ramadhan di sebuah kampung. Jika hal ini dikembangkan lebih mendalam, film ini tentunya akan lebih hidup lagi. Misteri cinta segitiga itu mirip sinetron Si Doel-nya Rano Karno. Akankah ada sekuel kedua film ini ? Walaupun demikian, penonton sangat terhibur dengan adegan atau dialog-dialog yang cukup sering mengundang tawa. Tangis yang berderaipun menjadi mereda kembali.
Dari segi pemeranan, para artis pendukung seperti Husen Idol, Zee Zee Shahab, Elma Theana dan Ustadz Ahmad Al Habsy juga tidak mendapatkan tantangan akting yang luar biasa. Peran yang dilakoni tidak jauh berbeda dengan keseharian mereka. Namun, mereka mampu memainkan tokoh-tokohnya dengan baik. Aura ustadz atau penceramah yang diperankan oleh Husen Idol cukup memberi warna, terlebih lagi Ramadhan kecil.
Dibalik semua itu, film ini wajib ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat. Film ini menyimpan harta karun yang luar biasa, mampu memberikan kekayaan batin bagi kita. Menumbuhkan kesadaran baru kepada kita. Membangkitkan semangat. Suatu nilai didaktis yang takkan mampu terbayar oleh apapun juga. Seperti film-film sebelumnya, Mizan Production selalu memberikan tontonan yang menghibur dan menginspirasi. Yuk, kita rame-rame ke bioskop kesayanganmu mulai 2 April mendatang, ya !

3/21/2015

XL DAN PERSIB : PANGERAN BIRU BANDUNG



Peresmian XL 4G LTE
Pusat perbelanjaan Paris Van Java Bandung menjadi saksi lahirnya Pangeran Biru Bandung yang kedua. Lho, kok dua ? Pangeran Biru Bandung biasanya identik dengan perkumpulan sepak bola asal kota kembang, Persib. Namun, Jumat, 20 Maret 2015, Bandung menggenapkan pangerannya dengan acara Peluncuran XL 4G LTE. Tempat berlangsungnya acara di restoran BMC Paris Van Java bernuansa biru. Tim kerja XL juga berkaos biru. Panggung utama juga dihiasi kain warna biru. Baju pembawa acara, Jodipun tak luput dari warna pangeran tersebut. Lahirnya pangeran kedua itu juga diperkuat dengan kedatangan Walikota Bandung, Ridwan Kamil dan Direktur Persib, Kang Farhan. Sahkan Bandung memiliki dua pangeran biru ? Soklah sing alakurnya ngamajukeun kota Bandung khususna, Jawa Barat tong hilap !
            Dalam acara tersebut,  XL memproklamirkan diri sebagai yang pertama menggunakan 4G di Indonesia. Kita kalah cepat dengan negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu menggunakannya, bahkan oleh Kamboja sekalipun. Tapi, biarlah terlambat asal ada yang memulainya, ya ! Dengan peluncuran program baru ini, XL akan mendukung pelaksanaan Konferensi Asia Afrika yang akan berlangsung pada 24 April mendatang, mendukung program Bandung Teknopolis dan hal lain yang berbasis internet. Kita berharap adanya 4G LTE akan mempermudah kita, warga Bandung khususnya untuk  memanfaatkan jasa internet secara positif. Terhindar dari kemacetan di dunia maya saat mengakses data. Mengefektifkan dan mengefisienkan waktu berinternet ria karena kecepatannya bisa mencapai 100 Mbps dalam waktu 2 detik saja. Luar biasa ! Di masa depan, mungkin segala aspek kehidupan kita akan dihubungkan oleh teknologi canggih ini. Wow deh !
            Dalam siaran persnya, 4G LTE merupakan teknologi jaringan telekomunikasi tercanggih saat ini. Keunggulannya adalah kecepatan, efisiensi jaringan dan jangkauan layanan. Oleh karena itu, pengguna bisa memperoleh kecepatan dan kestabilan akses layanan data yang lebih baik, termasuk untuk mengunduh file besar, seperti foto dan video. XL berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan dan pengalaman pelanggan yang lebih baik. Di samping itu, bersumber pada Wikipedia, 4G LTE merupakan standar komunikasi nirkabel yang menggunakan jaringan GSM / EDGE dan UMTS / HSDPA untuk mengakses data dengan kecepatan tinggi menggunakan telepon seluler atau perangkat mobile lainnya. 4G LTE ini merupakan penerus jaringan 3G. Teknologi ini mampu mengunduh sampai tingkat 300 mbps dan upload 75 mbps.   
            Acara berlangsung cukup ceria dengan kehadiran pembawa acara kocak, Jodi yang didukung penuh oleh Yuli. Diawali dengan makan siang bersama, lalu berlanjut pada acara inti. Sebagai rangkaian acara seremoni, sambutan pertama disampaikan oleh Direktur Service Manajemen XL, Bapak Ongki Kurniawan , berikutnya Dirjen SDPPI Kemenkominfo, DR Muhammad Budi Setiawan, dan Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Lalu, acara puncak, yaitu peresmian program XL 4G LTE dengan cara penekanan tombol bersama antara Pak Ridwan Kamil, Pak Ongki dan Pak Iwan. Imbasnya Lamborghini meraung-raung hebat memanggil para pemakai internet. Selanjutnya, acara hiburan dengan menampilkan artis Adera. Malam itu, Bandung ditutup dengan sebuah harapan akan masa depan dunia maya yang lebih baik.

2/21/2015

RACUN SEKOLAH BOB SADINO



Penulis Sri Rahayu Setiawati, S.Pd


      Sekolah akan menjadi racun, jika pembelajaran hanya berada pada aspek kognitif saja atau teori belaka. Namun, racun itu akan berubah menjadi madu jika kita memadukan ilmu (teori), praktek (kebutuhan lapangan) dan sikap positif.

      Bagaimana reaksi Anda ketika membaca judul tulisan ini ? Terus terang, perasaan saya sangat tak menentu. Kaget, khawatir, heran, marah, takut, galau dan sebagainya. Sebagai orang yang berada di dunia sekolah, pikiran yang muncul pertama kali ketika membacanya adalah pernyataan seperti itu ditakutkan akan membenarkan tindakan siswa
 yang senang membolos. Siswa siluman yang tidak mau bersekolah tapi ingin lulus atau naik kelas. Siswa malas yang ingin bersantai-santai saja. Benar-benar racun bagi dunia pendidikan. Siswa yang memiliki masalah mental tentu akan membenarkan tindakannya dengan pernyataan tersebut dan mereka akan tetap berada di zona salahnya itu. Sangat menakutkan, terlebih lagi jika mereka juga bukan pembelajar sejati.
      Namun, setelah  membaca tulisan wawancara seorang blogger dengan Bob Sadino, penulis merasa lega. Mengapa ? Coba perhatikan kutipan wawancara berikut ini :
      Rencana itu buat orang yang belajar manajemen. Menurutnya, rencana itu linear, mulai dari A, B, C, D sampai Z. Sedangkan hidup atau bisnis itu jalannya berkelok-kelok, tidak ada yang lurus dan terlalu urut. Sayangnya, rencana-rencana itulah yang diajarkan di sekolah. Padahal dalam pandangannya rencana itu adalah racun. Jadi, sekolah itu meracuni otak Anda, ujarnya bikin kaget.
Selengkapnya silakan nanti dibaca langsung saja ya !
(Sumber : Idzma Mahayattika, wikarya net )
    Menurut penulis, pernyataan dari pengusaha Bob Sadino itu merupakan kritikan sekaligus masukan positif untuk dunia pendidikan. Pernyataan itu sejalan dengan konsep link and match, kurtilas dan CBSA.
      Di zaman modern ini, sekolah bukan lagi sebagai pencetak hapalan. Sekolah harus menghasilkan sebuah pembelajaran yang berbasis teori (ilmu), praktek dan mengembangkan sikap positif. Siswa tidak lagi menjadi sekedar pelahap teori yang diberikan oleh guru. Namun, mereka harus aktif mencari, mencerna dan mempraktekkannya. 5 M. Mengamati. Menanya. Mengumpulkan Data. Mengasosiasi atau Meniru. Mengomunikasikan atau mempraktekkannya. Teori harus sejalan dengan praktek atau pekerjaan di lapangan itu bisa menjadi ilmu-ilmu baru. Inilah yang seharusnya menjadi ruh pembelajaran. Siswa bukan hanya belajar di sekolah saja atau di dalam kelas tapi harus terjun ke lapangan. Siswa bukan hanya
menghapal teorinya saja, tetapi harus melihat dan memahami perwujudan ilmu  itu dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian, ada kesinambungan dan kontinuitas antara ilmu atau teori dan kehidupan nyata atau kebutuhan di lapangan. Ilmu dimanfaatkan untuk memecahkan masalah-masalah di lapangan. Sebaliknya, siswapun bisa mendapatkan ilmu yang lebih komprehensif dari lapangan.
      Pernyataan Bob Sadino itu juga berarti tantangan untuk siswa dan guru. Siswa ditantang agar belajar secara aktif. Mereka bukan lagi sebagai obyek pembelajaran tapi menjadi subyek pembelajaran. Merekalah pelaku utama dalam sebuah proses belajar. Mereka menerima atau mencari ilmu untuk dikaji, dieksplorasi, dipahami, dikritisi, dan diterapkan di lapangan. Dengan demikian, ilmu itu akan semakin berkembang, bermakna dan bermanfaat untuk kehidupan siswa di masa sekarang dan masa depannya. Berbeda hasilnya, jika siswa pasif. Hanya menerima pelajaran saja.  Ilmu itu hanyalah sebatas angka yang akan tertera di dalam rapot atau ijasah siswa nantinya. Apa makna dan manfaatnya ? Angka hanya berperan mungkin  saat pendaftaran kelanjutan sekolah saja. Setelah itu, pasti akan disimpan  di lemari sampai ajal menjemput atau hilang tanpa jejak. Inikah tujuan dan wajah pendidikan di Indonesia ?
Pembelajaran Aktif

1/01/2015

TAHUN BARU



             Banyak orang menikmati tahun baru dengan berbagai cara. Berbondong-bondong datang ke tempat wisata di berbagai belahan bumi. Menikmati konser musik. Menonton berbagai macam pertunjukkan budaya. Bakar jagung di rumah atau tempat-tempat khusus. Yang lebih special adalah menanti detik-detik pergantian tahun baru dengan meniup terompet dan penyalaan kembang api yang akan menghiasi malam yang hitam pekat. Suasanapun menjadi meriah.

cimahi
Suasana pagi di Cimahi
           
    Kali ini, aku mencoba menyongsong fajar baru dengan cara yang sederhana, yaitu jalan kaki. Pada saat fajar pertama di tahun 2015 ini, aku dan dua orang temanku menyusuri jalan-jalan kota menuju sebuah perkampungan. Aku ingin mencari jejak pergantian malam tahun baru. Semula, kuduga kota akan dihiasi sampah-sampah kertas koran, terompet, bungkus makanan dan sebagainya. Namun, dugaanku meleset. Kota sudah bersih karena pasukan kuning sudah bekerja keras. Kudapati mereka di sudut kota dengan persenjataan bersih-bersihnya. Sampah-sampahpun sudah tak terlihat di gerobaknya. Yang tertinggal adalah jalanan yang sepi. Kosong. Padahal pada hari biasa, pasti macet dan penuh sesak. Rupanya kehidupan belum bernyawa. Orang-orang mungkin masih berselimut setelah semalaman begadang. Hanya beberapa motor yang melintas. Penumpangnya berpakaian kerja atau sekedar mencari sarapan pagi. Setelah siang, barulah kehidupan itu kembali normal. Aktivitas warga mulai menggeliat. Berbagai jenis kendaraan mulai menghiasi jalanan. Tempat makan penuh sesak. 

12/20/2014

RESEP PUDING KABOCHA

Bahan :
        1/2 buah kabocha
        1 bungkus agar-agar
        4 gelas santan
        1 gelas gula putih
        2 bungkus vanili bubuk
           sedikit garam

Bahan Saus :
         1 botol susu buah
         1 sendok makan maizena
         1 bungkus vanili bubuk

Cara Membuat :
1. kukus kabocha, dinginkan
2. blender kabocha bersama 2 gelas santan
3. tuangkan agar-agar dalam wadah, tambahkn vanili, garam, 2 gelas air santan secara bertahap sambil    diaduk
4. Campurkan kabocha yang sudah halus, aduk rata
5. Panaskan adonan tadi di atas api kecil hingga mendidih.
6. Tuang ke dalam cetakan. Dinginkan
7. Didihkan bahan-bahan saus. Lalu,, dinginkan
8. Sajikan dengan sausnya

12/18/2014

CERPEN CINTA DALAM DEGUNG



Pagi ini, matahari masih bersembunyi. Kehangatannya belum menyapa kami, walaupun jarum jam dinding berwarna biru itu sudah berada di angka delapan tiga puluh. Kota terlihat suram. Berselimut kabut. Bumi seolah-olah masih disiram oleh jarum-jarum abu letusan Kelud. Aku tak bisa menikmati keindahan panorama gunung di sebrang sana. Jika cuaca cerah, aku bisa memandangi gunung-gunung yang berbaris rapi seperti  sekompi tentara dibawah naungan langit biru yang jernih. Biasanya setiap pagi, barisan gunung yang berlapis itu akan menemaniku menikmati pagi sambil diiringi nyanyian burung-burung gorejra yang senantiasa terbang dan hinggap di sekitar tempat tinggalku  ini. Alam seolah-olah sedang berempati kepadaku.

homestay desa wisata cibuntu kuningan
Salah satu model penginapan di desa wisata Cibuntu Kuningan


Sejak subuh tadi, aku duduk di balkon ini. Berharap panorama indah di seberang bangunan sederhana ini akan mengobati kegalauanku. Aku tak bisa meninggalkan dunia yang sudah kutekuni sedari kecil. Sudah mendarah daging. Cinta sejatiku. Tanggung jawabku. Obsesiku. Haruskah kuikuti keinginannya memenuhi nafsu dunia yang tak pernah ada batasnya ?  Dilema.
Hatiku dag dig dug tak menentu. Jantung berdetak cepat. Badan terasa letih. Tak bertenaga. Pikiranku kembali melayang pada pertengkaran hebat itu. Aagghh …. Aku hanya mampu meninju kursi yang kududuki. Kursi tak berdosa itu terkulai layu. Jok busanya yang sudah dimakan usia, tak mampu menahan keperkasaanku. Busa-busa kuning kusampun berhamburan memenuhi balkon. Nafasku menderu. Rasanya, aku ingin memuntahkan segala materi vulkanik dari dalam kawah amarahku. Aku tak bisa menerima ucapannya yang sangat menusuk harga diriku. Meruntuhkan impianku. Wanita berparas ayu itu tak sesuai harapanku. Tapi, aku sangat mencintainya. Aku bertekuk lutut padanya. Masih adakah cinta itu di hatiku? Suasana telah berubah. Aku beralih ke ruang tengah. Menatap ruang yang suram ini. Pikiranku tenggelam pada masa lalu.

adu mulut
Pasea


Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat duduk di sebuah teras pusat perbelanjaan, aku melihat seorang wanita muda berjalan dengan anggun. Berpakaian merah. Celana panjang yang dikenakannya mirip seperti celana Aladin dalam dongeng seribu satu malam. Gadis itu tertawa riang. Ia berjalan melewatiku bersama seorang  wanita lain. Masih muda. Dari penampilannya, kutaksir mereka mahasiswi. Mungkin teman seperjalanannya menceritakan sesuatu yang lucu.  Mereka tertawa cekikikan.
“Kita duduk-duduk dulu di sini, yuk !” ujar wanita muda itu. Mereka berhenti berjalan. Tak jauh dari tempatku. Keduanya mematung. Temannya langsung berhenti dan menatap berkeliling.
“Ayo, duduklah para gadis,” harapku.
“Wah, asyik juga tempatnya, nih,” balas temannya dengan hati riang. Mereka melangkah pelan. Mencari tempat duduk yang kosong dan nyaman. Suasana teras ini cukup ramai juga. Banyak orang yang sendirian sepertiku, berpasangan atau bersama keluarga menikmati santap siang. Seorang anak kecil berpakaian lusuh menyelinap dari bangku satu ke bangku lain untuk menawarkan tisu yang dibawanya. Aku mengabaikan tawarannya. Aku tak ingin kehilangan dirinya. Momen ini sangat penting untukku.
Permohonanku terkabul. Kedua gadis itu duduk di tenda payung, tak jauh dariku.
“Re, aku ingin memesan makanan. Perutku keroncongan. Sudah waktunya makan siang, nih”
“Mmmh… namanya Re,” ujarku dalam hati. Aku terus menguping obrolan mereka sambil terus memperhatikan Si Baju Merah tanpa aksi yang mencurigakan.
“Kamu mau makan apa ? balas Re. “ Aku juga lapar. Pizza enak. Ayam goreng juga enak. Kita pesan apa, ya Ma? tanya si Baju Merah sambil meminta persetujuan sahabatnya.
“Ayam goreng saja, yuk ! Aku ingin makan nasi nih,” balas wanita yang dipanggil Ma itu. Mereka segera bangkit untuk memesan makanan di kedai ayam goreng.
 Tadinya, aku akan beranjak pergi dari tempat ini. Acara makanku sudah selesai. Namun, gara-gara gadis berbaju merah itu, aku harus memperpanjang acara nongkrongku. Aku segera memesan kopi pada pelayan yang kebetulan lewat. Mataku tak bisa lepas darinya. Penampilan gadis berbaju merah itu menarik. Dia memakai kerudung modern ala gadis-gadis hijaber. Modis. Tubuhnya berisi. Tidak gemuk ataupun kurus. Sedikit lebih berat daripada peragawati. Dia memakai alas kaki dengan hak setinggi lima sentimeter, model wedges yang etnik. Penampilan yang proporsional. Aku menyukainya. Diam-diam, hatiku berbunga-bunga. Perburuan yang menarik.
Tak berapa lama kemudian, Re dan temannya kembali ke kursinya. Re duduk menghadapku. Anugrah. Pucuk dicinta ulampun tiba. Aku bisa memandangi wajahnya yang bercahaya. Rasa bahagia mengalir dalam darahku. Tubuhku lebih bersemangat. Aku menikmati kopi yang lebih terasa nikmat dan manis. Walaupun samar, aku menguping obrolan mereka sambil mengaduk-aduk kopi yang telah kutambahkan gula.
“Laki-laki itu, apa pendapatmu,” kata Ma.
Aku terperanjat.  “Apakah diriku yang sedang mereka bicarakan? tanyaku dalam hati.”Jangan-jangan aku ketahuan telah memperhatikan gadis bernama Re itu sejak tadi,” pikirku. Aku mengubah posisi dudukku. Menenangkan diri seperti maling yang ketahuan aksinya. Mencari alibi Aku segera menajamkan kupingku. Untung, suasana sudah mulai sepi. Hanya suara angin berdesir.
Sejenak, mereka serius. Lalu, tertawa berderai. .”Hatimu bagaimana ? Kamu naksir dia, kan?” tanyanya.
 “Ya, mungkin,Re,” jawab Ma. “Semalam, dia datang lagi ke rumahku. Berbicara dengan ibu. Aku tak tahu hal apa yang dibicarakan mereka. Tadi pagi, ibu menanyakan pendapatku tentangnya.”
“Kamu tahu sendiri kan bahwa dia masih beristri, walaupun katanya, istrinya sedang sakit parah. Diabetes Melitus. Tapi, tetap kan dia masih terikat perkawinan yang sah. Aku tak mungkin menikah dengannya. Aku tak mau,”
“Apa pendapat ibumu?” tanyanya lagi.
“Tampaknya ibu cocok dengan dia. Kalau dia memang jodohmu, siapapun takkan bisa menghalanginya,” balas Ma lagi.
“Wah, restu mertua sudah turun tuh,” jawab Re sambil tertawa renyah. Giginya yang berderet putih semakin menawan hatiku. Cantik.
 Re terus menggoda temannya. Ma melempar tubuh Re dengan bungkus kacang. Mereka kembali tertawa-tawa sampai orang di sekitarnya menatap ke arah bangku mereka. Bangku yang paling ribut. Menyadari sedang diperhatikan oleh orang banyak, kedua gadis itu menahan tawa sambil menutup mulut dengan telapak tangannya. Tak berapa lama kemudian, pesanan pun datang. Mereka terdiam. Kedua gadis muda itu makan dengan lahap. Aku suka cara makan Re. Anggun. Rapi.  Berkelas. Tambahan poin untuknya di mataku.
 Sejak kecil, aku memang selalu dibiasakan cara makan yang tertib. Tidak boleh ada nasi sebutirpun yang berceceran. Ibu akan langsung menegur jika hal itu terjadi. Keluargaku memang masih menaati aturan-aturan lama. Warisan nenek moyang. Tak boleh dilanggar. Itu kewajiban kami.
Re dan temannya telah selesai menyantap makan siang mereka. Keduanya langsung beranjak meninggalkan tempat. Aku terhenyak. Untung otakku cepat bekerja. Setelah membayar kopi, aku segera berjalan mengikuti mereka dengan lantip. Mereka berjalan mengitari pusat perbelanjaan itu. Khas perempuan, melihat dan membeli baju atau sepatu. Akhirnya, mereka memasuki sebuah toko buku yang berada di lantai dua. Kesempatan bagiku untuk berkenalan. Si gadis berbaju merah itu bernama  Raesita Puspitaningsih. Sejak itulah, aku dan Re resmi berpacaran.
Tak terasa  dua tahun hampir berlalu. Aku tak suka dengan gaya hidupnya yang berbiaya tinggi. Itu yang menjadi pemicu pertengkaran kami.
“Kamu harus cari jalan lain, Mas ! Kalau kita mengandalkan hidup pada kesenian tradisional itu, kita akan kelaparan. Uangnya tak seberapa. Hanya cukup untuk sekali makan !” kata Re dengan  bibir cemberut.
“Ini duniaku, Re. Ini kesenanganku,” balasku pendek.
“Kesenanganmu bukan kesenanganku !” balas Re ketus.
“Sabar saja sayang. Sekarang ini, permintaan orang pada kesenian degung memang sedang sepi. Nanti juga pasti ada rejeki lagi,” jawabku mencoba bersabar.
“Sampai kapan, kita harus bersabar, Mas ? Orang zaman sekarang lebih memilih hiburan dengan organ tunggal daripada degung. Apakah kita akan menunggu sampai organ tunggal punah dimakan waktu?” sindir Re dengan ketus.

Pertunjukan degung di London

Selama ini, degung memang  menjadi duniaku. Seni tradisional khas Jawa Barat yang diwariskan orang tuaku. Kini, akulah yang dilimpahi wewenang untuk meneruskan, melestarikan dan mempertahankan kesenian ini agar tidak tergerus zaman. Aku harus bertahan demi semua anggota kelompok sanggar yang dulu telah dibentuk oleh ayahku dengan susah payah. Mereka hanya mampu menggantungkan hidupnya pada kesenian ini. Tak ada degung, tak ada makan. Mempertahankan degung agar bisa menjadi sumber rejeki memang lebih sulit dewasa ini. Kalah bersaing dengan organ tunggal. Dulu, degung selalu ada pada setiap acara perkawinan. Sekarang, orang mulai beralih pada musik yang lebih modern. Lebih murah. Lebih bergengsi dan lebih menarik. Apalagi, jika para penyanyinya berpenampilan nyentrik. Urakan. Bergoyang bagai penari ular. Para tamupun, khususnya kaum adam akan ikut bergoyang sambil nyawer. Bang Rhoma Irama pasti akan mencela, jika beliau melihat hal itu. Seringkali, aku juga merasa miris dan malu jika harus melihat penampilan yang tak terjaga itu. Mereka lebih menjual body daripada suara. Sedangkan degung sebenarnya memiliki nilai-nilai luhur yang tak banyak disadari orang. Sayang, aku tak bisa mengumumkan hal itu pada dunia.
“Mas, dengar kata-kataku tidak ? Kita perlu uang untuk makan. Bayar uang kuliahku. Membeli kosmetikku. Membeli baju. Bahkan rumah yang lebih layak untuk tempat tinggal kita. Aku bosan berdiam diri di rumah terus. Skripsiku hampir selesai. Aku ingin jalan-jalan lagi seperti dulu. Sana, cari kerja yang lebih mapan lagi !,” bentak Re membuyarkan lamunanku.
“Aku sudah berusaha, Re !” jawabku datar.
“Usahamu kurang keras dan gigih. Cari pelanggan sebanyak-banyaknya dong! Jangan hanya satu atau dua orang yang menggunakan jasa degung kita! Pakai otak ! Mikir !” jawab Re lebih tajam.
Mendengar kata-katanya itu. Darahku serasa mendidih. Menggelegak dan menjalar cepat ke ubun-ubun. Ingin rasanya aku menampar mulut wanita itu. Namun, nuraniku masih mampu mengendalikan amarah. Sekarang, dia adalah istriku. Menyesal juga aku menikahinya. Hidupnya yang terbiasa enak, serba cukup dan mudah mendapatkan sesuatu berbalik seratus delapan puluh derajat sejak tinggal bersamaku. Wataknya yang biasa lembut juga berubah tiga ratus enam puluh derajat. Sekarang, dia bagi kucing garong yang manis. Apa-apa duit. Apa-apa duit. Batok kepalanya telah penuh diisi oleh uang dolar yang melambung tinggi, melebihi rupiah beberapa tingkat. Membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
“Mas, laki-laki sejati itu harus bisa cari duit yang banyak, supaya anak istrinya bisa hidup enak. Jalan-jalan ke luar negeri seperti para artis. Liburan,” cerocosnya lagi.
“Ya, sabar sajalah, mudah-mudahan nanti, kita juga bisa seperti mereka!” jawabku.
“Jawabanmu sangat tidak kreatif. Sabar. Sabar. Sabaar…,” ujarnya sambil mencibir. Aku langsung membuang muka.
“Kepalamu itu, jangan hanya diisi dolar! Uang. Uang dan uang. Hidup itu jangan hanya mengejar uang! Masih banyak hal lain yang lebih bermanfaat. Kita harus bersyukur masih bisa makan dan memiliki rumah sederhana ini,” kataku gusar.
“Laki-laki itu harus kreatif kalau ingin sukses. Bagaimana akan maju kalau hanya diam di tempat saja? Tuh, contoh Saung Mang Ujo. Mereka bisa menjual seni tradisional sampai mendunia. Mereka menjual angklung pada bule-bule yang berduit banyak.  Mereka bisa pergi ke Amerika. Mereka bisa memberdayakan masyarakat sekitar. Hidup makmur. Pendapatan rutin. Itu hasil berpikir kreatif. Pakai otak cemerlang.” Dia terus mengoceh tak karuan. Menyepelekanku.
“Aku tidak memiliki teman bule. Bagaimana aku bisa menjadikan mereka menonton acaraku atau mengundang kelompok degungku?” jawabku frustasi.
“Mentalmu tempe, Mas! Belum apa-apa sudah menyerah duluan. Bagaimana akan maju kalau seperti itu terus? Kamu bisa menggunakan You Tube. Facebook. Atau kamu pergi saja ke. Saung Mang Ujo. Dapetin tuh bule-bule berkantong tebal! Berkenalan. Silaturahmi. Atau kamu temui bos Saung Mang Ujonya. Nanti, bisa bekerja sama. Teken kontrak,” sanggahnya kesal.
Goooong ….!!! Aku memukul waditra besar yang ada di dekatku.  Suaranya membahana memenuhi ruangan. Pelampiasan emosiku. Aku kesal pada istriku yang selalu menganggap sesuatu itu mudah didapatkan.
“Maaaassss … !”  istriku berteriak keras sambil menutup telinga. Suara gong itu menjadi jeda ocehannya. Aku mulai menata emosiku. Kuatur nafasku yang memburu penuh nafsu angkara murka. Seiring dengan melemahnya suara gong, amarahku mulai mereda. Walau rasa marah dan kesal itu masih tetap ada.
 Setelah itu, aku hanya duduk berdiam diri saja walau kuping dan hatiku masih terasa panas. Aku hanya bersandar pada dinding sambil menerawang jauh. Dinginnya dinding semakin mampu meredakan ketegangan urat sarafku. Mendinginkan hatiku. Aku menatap alat-alat degung yang sudah agak lama teronggok di ruangan ini. Sepi peminat. Bonang. Cempres. Panerus. Jengglong dan Goong hanya mampu duduk melamun seharian di ruang yang sempit dan pengap ini. Sepengap diriku saat ini. Pun para penabuhnya. Mereka sudah mulai frustasi. Sudah lama, asap dapur mereka tak mengepul. Aku tak berhasil mendapatkan orderan manggung. Satu per satu mereka mulai berpikir untuk beralih profesi pada pekerjaan yang bisa menghidupi mereka dengan layak.
“Lebih baik aku berdagang saja, pasti dapat uang untuk makan.”
“Aku lebih baik menjadi sopir pribadi. Dapat gaji bulanan. Penampilan necis. Bawa mobil. Kelihatan keren.”
“Aku lebih baik pulang kampung. Mengurus sawah dan kebun.”
Obrolan-obrolan seperti itu secara tak sengaja kudengar saat mereka duduk berkumpul sambil membersihkan waditra-waditra ini. Membuat hatiku miris. Jantungku seolah mendapat hantaman godam. Mereka tanggung jawabku. Aku tak ingin mereka bernasib naas seperti itu. Aku ingin mereka bisa hidup dari kesenian tradisional ini. Warisan dan budaya leluhur. Aku ingin degung menjadi sumber kekayaan untuk mereka, sekaya budaya di negri tercinta ini. Namun sayang, aku belum bisa membawa mereka ke arah itu. Nasib seni tradisional ini masih terseok-seok. Saat pikiranku melayang kepada nasib para penabuh waditra ini, istriku tetap berkoar-koar memekakkan telinga.
“Jangan menjual degung pada orang lokal yang kere, tak berduit. Tak mampu menghargai seni. Apa-apa inginnya murah. Barang berkualitaspun dihargai murah. Orang kita memang pelit. Apalagi untuk seni tradisional. Mereka pasti hanya memandangnya dengan sebelah mata. Itu masih untung. Bahkan mungkin lebih banyak yang sudah menutup mata, mengabaikannya. Mereka lebih senang memilih barang dan seni impor. Berapa jutapun pasti akan ditebak tanpa dipikir panjang. Kocek-kocek tebal mereka akan beterbangan melintasi pulau dan benua untuk menonton konser-konser musik dari luar negeri.. Mereka pasti rela duitnya habis untuk itu. Tapi, kalau untuk seni tradisional, waaah ampuuun deh,” ujarnya dengan nada menyindir.
Baru kali ini, aku menerima pendapatnya itu. Dia memang benar. Seni tradisional memang sudah tak dihargai. Seni tradisional telah tergilas seni modern. Seni tradisional hidup dengan lesu tak bertenaga. Hidup segan, mati tak mau.
 “Zaman sekarang, kalau ingin bisa menjual, ya harus berinovasi. Apalagi seni tradisional yang sudah banyak tak dianggap lagi oleh masyarakat kita itu. Tanpa inovasi, dia akan mati. Kamu benahi manajemennya. Pertunjukkannya. Ceritanya. Wawasanmu harus luas, Mas! Jangan hanya berkutat di masalah-masalah yang tradisional saja. Kamu harus mengetahui kebutuhan dan keinginan masyarakat modern sekarang. Kamu juga harus mengetahui segala hal yang mereka sukai. Dari situlah, kamu bisa menciptakan inovasi-inovasi baru. Mungkin kamu, bisa memadukan degung dengan musik modern. Atau, Mas bisa menyajikan pertunjukan degung dalam nuansa yang lebih modern sesuai selera pasar,” ujarnya bersemangat sambil menatapku tajam. Hening.
“Sini, Mas, ikut aku !” ajaknya sambil menarik lenganku dengan paksa. “Cepat bangkit ! Aku punya sesuatu yang bagus untukmu,” ujarnya gusar. Dengan langkai gontai, aku mengikuti dirinya ke dalam kamar. Dia membuka laptopnya.
“Aku baru ingat ini. Aku punya contoh-contoh inovasi itu. Kamu bisa belajar dari sini. Aku mendapatkannya saat mengikuti Konferensi dan Festival Budaya Internasional di Bali,” ujarnya dengan mata berbinar. Matanya bercahaya terang. Cahaya itu memasuki otakku yang membeku. Sesaat kemudian, kami berdua menikmati pertunjukkan gamelan Sunda dalam nuansa yang lain. Rasa marah di hati yang belum hilang, membuatku agak membuat jarak dengannya. Aku melihat Krakatau berkolaborasi dengan musisi Sunda untuk menghasilkan jenis musik Jazz Fussion. Lalu, sebuah grup gamelan degung bernama Degung Dedikasi menampilkan keberhasilan mereka dalam mengkreasikan lagu-lagu pop barat dengan gaya tabuhan gamelan degung dalam sistem tonal.
“Selesai! Bagaimana pendapatmu, Mas?” tanyanya penuh suka cita. Dia menatapku, berharap mendapatkan jawaban. Wajah dan suaranya yang tadi marah-marah berangsur-angsur mulai tenang. Aku tidak memberikan jawaban. Mulut kukunci rapat-rapat. Namun, diam-diam aku suka dengan ide-idenya. Aku balas tatapan matanya. Aku nikmati wajahnya yang ayu. Bola mataku tembus di bola matanya. Aku makin mencintai istriku. Cewek matre yang masih peduli pada seni tradisional. Hidupku. Aku beranjak mendekatinya. Aku memeluknya erat. Urat-urat syarafku mengalirkan rasa sayang yang luar biasa padanya. Istriku, sumber inspirasiku.
“Terima kasih, kau telah mencairkan kebuntuanku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku berjanji akan membuatmu hidup senang. Doakan suamimu dan dukung aku terus, ya! Suamimu. Masmu. Bukan kamu-mu,” kataku lembut sambil sedikit meralat kata-kata terakhirnya. Aku membelai rambutnya. Aku merindukannya lagi.
“Engngng… maaf, Mas,” balasnya sambil mencubit pinggangku. Kemanjaannya muncul. Aku menyukai hal itu. Rasanya dunia ini hanya milik kami berdua.
Matahari berangsur-angsur menyinari rumah kami. Meneranginya dengan kehangatan cahaya yang lembut. Sehangat mentari pagi. Suasana rumah yang semula berkabut, sedikit demi sedikit mulai benderang. Memberikan satu harapan baru. Sebuah kebangkitan.



Sumber gambar degung

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/03/12/kolaborasi-degung-sunda-dan-wayang-bali-di-london

Featured Post

Fiksi Mini: Aurora

  Semangat sekali aku menyambut tahun ajaran baru ini. Setelah liburan selama dua minggu, energiku terisi penuh. Langkahku tegap menuju kela...