10/13/2025

Fiksi Mini: Aurora

 

Semangat sekali aku menyambut tahun ajaran baru ini. Setelah liburan selama dua minggu, energiku terisi penuh. Langkahku tegap menuju kelas 9A di lantai tiga. Senyumku pun melebar tatkala memandangi wajah-wajah baru di sini.

“Selamat pagi, Bu!” sapa seorang anak perempuan berwajah ayu. Wajahnya bersinar indah. Kulitnya putih bersih. Baju seragamnya tampak rapi. Membuatnya anggun memesona.

“Pagi, juga!” sapaku ramah. “Namamu siapa?” tanyaku.

“Aku Aurora, Bu!” jawabnya penuh takjim.




Kesan pertama yang menyenangkan. Semangatnya menular padaku. Betapa bahagianya aku  berada di kelas ini. Selama tiga jam, kami berinteraksi asyik. Aurora murid yang aktif. Aku suka pada gaya bicaranya yang berenergi. Tegas tapi lembut.

“Aurora?” tanyaku berulang ketika mendata kehadiran siswa pagi ini. Sendu memenuhi ruangan. Aku baru menyadari perubahan yang drastis ini. Tak secerah dan sehangat minggu lalu.

“Kemanakah Aurora? Tumben tidak ada hari ini?” tanyaku lagi.

“Maaf, Bu ijin menjawab!” jawab ketua kelas. Aku mengangguk.

“Aurora masuk rumah sakit, Bu!” jawabnya terbata.

“Waduh, sakit apa?” tanyaku penasaran. Ketua kelas menggeleng lemah.

“Kami dengar, dia tidak sadar, Bu. Tergolek lemah di rumah sakit Hasan Sadikin,” timpal yang lain.

Mendadak ada sesuatu yang tercerabut dari dalam diriku. Entah mengapa, aku sangat merindukan Aurora. Kelas ini seperti kehilangan jiwanya tanpa Aurora.

Selepas menunaikan kewajiban mengajar, aku bergegas mencari bu Ratna, walikelas Aurora. Aku segera memberondongnya dengan sejuta pertanyaan.

“Mengapa dia masuk ke sekolah kita ya?” sesalnya sambil duduk di meja guru.

“Memangnya Aurora sakit apa?” tanyaku makin penasaran. Tak sabar rasanya mendengar jawaban dari bu walas ini.

Bu Ratna menghela nafas panjang seolah-olah melepaskan beban berat sebesar batu gunung dari hatinya. Suaranya lemah. Air matanya menetes. Namun, ia segera menenangkan diri. Malu rasanya kalau harus banjir air mata di ruangan ini. Guru-guru yang lain pun jadi berkumpul di mejanya. Mereka sangat penasaran dengan Aurora, apalagi guru-guru yang masuk ke kelasnya. Lama, kami menanti jawaban.

“Aurora terkena Meningitis. Kanker otak,” jawabnya sambil menatap guru-guru yang mengelilinginya.

“Astagfirullahaladzim,” jawab kami serempak. Aku sangat merinding mendengarnya. Itu adalah penyakit yang berbahaya. Dekat dengan kematian.

“Hayuk atuh, besok kita menengok Aurora ke Hasan Sadikin!” ajak bu Ani.

Ijong, seorang guru muda langsung mengambil inisiatif. Kami melakukan video call dengan ibunya Aurora di rumah sakit Hasan Sadikin.

“Alhamdulillah, Bu. Aurora sudah sadar!” Lalu, ibunya Aurora berjalan memasuki ruang perawatan anaknya. Aurora melambaikan tangan. Senyum bahagianya mengembang sempurna. Tenggorokanku pun tercekat menahan tangis. “Duh, ini anak, energizer sekali!” batinku.

“Maaf, Ibu, saya belum bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah!” katanya penuh penyesalan sambil menangkupkan tangan.

“Aih, Aurora, jangan pikirkan tugas-tugas sekolah dulu! Kamu harus sehat dulu. Santai saja,” balas bu Ani memberi semangat.

“Siap, Ibu! Doain, aku ya, Bu!” jawabnya dengan tawa lebarnya yang khas.

Rasanya jiwaku seperti dipukul palu gada. “Duh, ini anak. Seandainya, semua siswaku punya semangat seperti dia. Generasi emas Indonesia bakal terwujud lebih cepat!” harapku dalam hati.

Teleponku berdering nyaring. Puluhan telepon tak terjawab menghiasi berandaku.

Aurora telah meninggal dunia tengah malam tadi. Sebuah pesan pendek kubaca dengan dada sesak.

Innalillahiwainnailaihirojiun.

Wajah Aurora berkelebat. Bersinar terang dihiasi tawa bahagia seperti biasanya.

 

 

 

Featured Post

Fiksi Mini: Aurora

  Semangat sekali aku menyambut tahun ajaran baru ini. Setelah liburan selama dua minggu, energiku terisi penuh. Langkahku tegap menuju kela...