Semangat
sekali aku menyambut tahun ajaran baru ini. Setelah liburan selama dua minggu,
energiku terisi penuh. Langkahku tegap menuju kelas 9A di lantai tiga. Senyumku
pun melebar tatkala memandangi wajah-wajah baru di sini.
“Selamat
pagi, Bu!” sapa seorang anak perempuan berwajah ayu. Wajahnya bersinar indah.
Kulitnya putih bersih. Baju seragamnya tampak rapi. Membuatnya anggun memesona.
“Pagi,
juga!” sapaku ramah. “Namamu siapa?” tanyaku.
“Aku
Aurora, Bu!” jawabnya penuh takjim.
Kesan
pertama yang menyenangkan. Semangatnya menular padaku. Betapa bahagianya
aku berada di kelas ini. Selama tiga
jam, kami berinteraksi asyik. Aurora murid yang aktif. Aku suka pada gaya
bicaranya yang berenergi. Tegas tapi lembut.
“Aurora?”
tanyaku berulang ketika mendata kehadiran siswa pagi ini. Sendu memenuhi
ruangan. Aku baru menyadari perubahan yang drastis ini. Tak secerah dan
sehangat minggu lalu.
“Kemanakah
Aurora? Tumben tidak ada hari ini?” tanyaku lagi.
“Maaf,
Bu ijin menjawab!” jawab ketua kelas. Aku mengangguk.
“Aurora
masuk rumah sakit, Bu!” jawabnya terbata.
“Waduh,
sakit apa?” tanyaku penasaran. Ketua kelas menggeleng lemah.
“Kami
dengar, dia tidak sadar, Bu. Tergolek lemah di rumah sakit Hasan Sadikin,”
timpal yang lain.
Mendadak
ada sesuatu yang tercerabut dari dalam diriku. Entah mengapa, aku sangat
merindukan Aurora. Kelas ini seperti kehilangan jiwanya tanpa Aurora.
Selepas
menunaikan kewajiban mengajar, aku bergegas mencari bu Ratna, walikelas Aurora.
Aku segera memberondongnya dengan sejuta pertanyaan.
“Mengapa
dia masuk ke sekolah kita ya?” sesalnya sambil duduk di meja guru.
“Memangnya
Aurora sakit apa?” tanyaku makin penasaran. Tak sabar rasanya mendengar jawaban
dari bu walas ini.
Bu
Ratna menghela nafas panjang seolah-olah melepaskan beban berat sebesar batu
gunung dari hatinya. Suaranya lemah. Air matanya menetes. Namun, ia segera
menenangkan diri. Malu rasanya kalau harus banjir air mata di ruangan ini.
Guru-guru yang lain pun jadi berkumpul di mejanya. Mereka sangat penasaran
dengan Aurora, apalagi guru-guru yang masuk ke kelasnya. Lama, kami menanti
jawaban.
“Aurora
terkena Meningitis. Kanker otak,” jawabnya sambil menatap guru-guru yang
mengelilinginya.
“Astagfirullahaladzim,”
jawab kami serempak. Aku sangat merinding mendengarnya. Itu adalah penyakit
yang berbahaya. Dekat dengan kematian.
“Hayuk
atuh, besok kita menengok Aurora ke Hasan Sadikin!” ajak bu Ani.
Ijong,
seorang guru muda langsung mengambil inisiatif. Kami melakukan video call
dengan ibunya Aurora di rumah sakit Hasan Sadikin.
“Alhamdulillah,
Bu. Aurora sudah sadar!” Lalu, ibunya Aurora berjalan memasuki ruang perawatan
anaknya. Aurora melambaikan tangan. Senyum bahagianya mengembang sempurna.
Tenggorokanku pun tercekat menahan tangis. “Duh, ini anak, energizer sekali!”
batinku.
“Maaf,
Ibu, saya belum bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah!” katanya penuh penyesalan
sambil menangkupkan tangan.
“Aih,
Aurora, jangan pikirkan tugas-tugas sekolah dulu! Kamu harus sehat dulu. Santai
saja,” balas bu Ani memberi semangat.
“Siap,
Ibu! Doain, aku ya, Bu!” jawabnya dengan tawa lebarnya yang khas.
Rasanya
jiwaku seperti dipukul palu gada. “Duh, ini anak. Seandainya, semua siswaku
punya semangat seperti dia. Generasi emas Indonesia bakal terwujud lebih
cepat!” harapku dalam hati.
Teleponku
berdering nyaring. Puluhan telepon tak terjawab menghiasi berandaku.
Aurora
telah meninggal dunia tengah malam tadi. Sebuah pesan pendek kubaca dengan dada
sesak.
Innalillahiwainnailaihirojiun.
Wajah
Aurora berkelebat. Bersinar terang dihiasi tawa bahagia seperti biasanya.