2/16/2016

MENJEMPUT AROMA


Tempat yang melegenda di Bandung


Pagi sedikit mendung. Aku segera bersiap memenuhi janjiku. “7.30 di stasiun,” ujar sahabatku. Kulirik jam tangan, masih 30 menit lagi kereta berangkat. Perjalanan ke stasiun hanya 5 menit saja. Segera kulangkahkan kaki dan bergegas naik angkot.
            ON : Besok jadwalku padat. Pagi-pagi kubelanja di ABC. Lanjut, ke Garut. Terus ke      museum Mandala. Sorenya, baru ke Geologi at Night. Gimana, jadi ikut ?
            YU : Ok !
            Aaagh, dugaanku meleset. Mobil ini lama tak bergerak. Menunggu penumpang dengan sabar. Aku masih bersikap tenang. “Masih ada waktu,” pikirku.
            ON : Hei, dirimu dimana ? Kereta sudah datang.
            Segera kubalas pesan singkat itu. Dag dig dug. Pikiranku langsung membuat rencana baru. Jika tak sempat. Kita bertemu di pabrik saja. Kau naik kereta, aku ngangkot. Tak lama, aku segera berlari ke stasiun. Ular panjang itu sudah terdiam tenang. Aku celingukan mencari temanku.
            PETUGAS : Mau kemana Teh ? Menjemput ?
            YU : Bukan. Ke Bandung.
            PETUGAS : Oh. Ada tiketnya.
            YU : Sebentar ( Aku mulai panik ).
            Kutelpon temanku. Kriiing.
YU :  “Tiketku sudah kau belikan ?” tanyaku.
ON : “Belum,” jawabnya.
 Segera kututup. Aku berlari ke loket. “Bandung satu,” kataku. Seorang petugas loket memberiku selembar tiket. “Segera naik,” ujarnya.
Aku kembali ke gerbang kereta. Tangga naik kereta sudah dibereskan. Gawat. Aku berlari. Hap. Berhasil ! Aku telah berada di dalam gerbong. Kucari temanku. Tak ada.
YU : Kriiing. Dimana ?
ON : Gerbong putih, belakang.
Aku segera bergerak lagi. Melintasi gerbong. Namun, kereta mulai berjalan perlahan. Aku terduduk. Kereta cukup padat. Hampir semua kursi terisi. Wajah-wajah penuh semangat. Penuh pengharapan berharap rejeki yang lebih baik dari hari kemarin. Tak sampai setengah jam, kereta berhenti. Beberapa penumpang mulai turun di stasiun pertama. Ciroyom.
Ah, tak enak juga duduk sendirian. Aku kembali bergerak rusuh melintasi gerbong. Kucari temanku. Beberapa pasang mata di setiap gerbong yang kulewati menatapku. Ups, kikuk juga menjadi perhatian orang. Dikepoin hehehe…. Akhirnya, kutemukan dirimu.
Tak lama kemudian, kereta sampai di stasiun tujuan. Bandung. Kami segera keluar. Melintasi jalan. Menapaki terminal. Menyebrang jalan. Lurus. Belok. Gerak langkah kakiku terasa berat. Temanku bergerak lincah. Pagi-pagi menyusuri Bandung yang masih sepi. Udara masih relatif bersih. Kehidupan sudah mulai berjalan. Kios-kios di Pasar Baru mulai terbuka. Banyak orang sedang membereskan barang dagangannya. Tumpukan barang yang bergunung-gunung di luar mulai diangkut.
Aku menyebrang lagi. Memasuki jalan ABC. Tak banyak mobil atau motor yang melintas. Beberapa kendaraan sudah mulai terparkir. Kami terus melangkah ke ujung jalan. Hidungku menangkap aroma yang menggugah selera. Khas. Gedung putih sudah mulai terlihat. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Kami segera mendekati gedung tua itu.
Pabrik Kopi Aroma

Wow. Antriannya panjang. Baru kali ini, kulihat antrian seperti itu di sebuah toko sebelum jam sembilan-sepuluh. Orang-orang sudah berbaris rapi. Mengular. Tua muda. Rata-rata berjenis kelamin laki-laki. Cocok. Biasanya, kepadatan seperti ini pada jam seperti ini hanya ada di pasar tradisional. Kami segera memasuki barisan. Seorang nenek-nenek dengan tongkat berdiri di pintu toko. Seorang laki-laki berjaket merah asyik mengambil gambar. Kehidupan sudah mulai aktif di sini. 
Antrian Panjang

Perlahan, barisan mulai maju. Satu per satu orang-orang keluar barisan sambil membawa bungkusan. Ada juga, beberapa orang yang hanya memberikan selembar kertas, lalu pergi. Makan bubur atau entah kemana.
Siap Action
 
Kopi Aroma
Hari ini, ya hari ini kujejakkan juga kakiku di sebuah toko legendaries di Bandung. Gaungnya sudah lama berkumandang sampai jauh. Informasinya sudah banyak terkuak di media. Aku pernah melihat liputannya di televisi. Ah, aku lupa entah di televisi yang mana. Sudah lama sekali. Melaluinya, aku bisa melihat kunjungan ke sebuah pabrik kopi. Saat itu, sambil nonton, hatiku berbisik, “ Semoga suatu saat, aku bisa mendatanginya juga.”
Hari ini doaku dikabulkan. Temanku yang berbisnis di bidang kopi mengajakku ke sini. Dia mendapatkan pesanan kopi untuk segera dikirim ke berbagai kota. Kopi ini ternyata memiliki banyak penggemar. Buktinya, temanku selalu datang ke sini. Sampai-sampai orang sana hapal dengan pesanannya. Sayangnya, pembelian dibatasi sampai lima kilogram saja perharinya.
Biji Kopi dan Mesin

Ada yang tahu kunjungan kulinerku di Bandung ini kemana ? Aku menatap bangunan tua yang masih terlihat kokoh dan bersih ini. Jendela dan pintunya masih kental dengan nuansa masa lalu. Kayu coklat tua yang kokoh. Elegan. Dan Khas. Rasanya jarang kulihat model kusen seperti itu lagi di zaman sekarang ini. Wangi kopi turut menyemarakkan suasana pagi ini. Memberikan kebahagiaan dalam cuaca yang sedang redup.
Perlahan tapi pasti, akhirnya aku sampai juga di tempat pemesanan. Tergoda dengan kopi Aroma yang melegenda itu, aku ikut memesannya. 1 bungkus kopi Robusta. Done, Aku segera keluar barisan. Temanku hanya memberikan selembar kertas. Lho ? Pesanan banyak memang seperti itu. Supaya tidak mengganggu pelanggan lain, kita bisa menunggu orang toko menyiapkan pesanan kita. Kalau sudah siap, dia akan memberikannya pada kita.
Semula aku ragu membeli kopi, karena punya maag. Tahu kan efeknya ? Namun, di sisi lain, kopi hitam ada juga manfaatnya. Bisa menjaga kesegaran badan. Pembunuh sel kanker juga ternyata. Jadi, kubeli deh. Atas dasar saran temanku, aku memilih Robusta yang lebih bersahabat dengan perut. Pada dasarnya, di sini, hanya ada dua jenis kopi. Robusta dan Arabika. Kopi-kopi ini berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Semuanya dilebur dalam dua jenis kopi tersebut. Kecuali kopi Java dan Toraja yang bisa dipesan secara terpisah. Sebelumnya, biji-biji kopi itu sudah disimpan lama di gudang, sehingga kopi ini memiliki kekhasan tersendiri. Kita juga bisa memilih jenis gilingan kopi, yaitu halus, medium atau kasar. Konon kabarnya, sebuah tempat ngopi terkenal di Bandung selalu menerima pasokan rutin dari tempat ini.
Yang mana pilihanmu ?

Nah, sambil menunggu pesanan siap, kami berdua dan beberapa orang lain melakukan kegiatan kuliner. Sarapan pagi. Lokasinya ada di depan toko tersebut. Kalau yang ingin kenyang bisa memilih bubur ayam. Konon kabarnya, rasanya enak, banyak topingnya dan murah. Harganya kurang dari sepuluh ribu. Pilihan lainnya yang lebih ringan adalah kue-kue. Salah satunya adalah roti. Terlihat menggoda juga. Namun, pagi itu, aku lebih penasaran dengan kuliner khas Bandung. Comro. Oncom dijero. Rekomendasi beberapa orang sangat meyakinkan. Enak. Renyah. Dan, isinya juga enak oncomnya serta tidak pedas. Pas dengan lidahku. Pas aku menggigit comro yang masih hangat itu, rasanya memang juara.
Seiring dengan gigitan terakhir cemilan khas Bandung tersebut, selesai juga pesanan temanku. Lima kilogram aneka jenis kopi. Selanjutnya, kami masih akan berkeliling di kota Bandung. Mengunjungi Rumah Belajar Rancage (Pusat Studi Bahasa Sunda ) milik Ajip Rosidi di jalan Garut untuk sosialisasi gerhana matahari. Setelah itu akan bergerak ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi dan menikmati malam di Museum Geologi Bandung. Night At Museum. Seru kan ? Ada yang mau ikut ? Hayuuu !


Tulisan ini diikutsertakan dalam NiaHaryanto1stgiveaway: The UnforgetableBandung

2/15/2016

PESONA MOJANG PURWAKARTA



Awal Juni ini, saya berkesempatan mengikuti ajang FLS2N Tingkat Provinsi Jawa Barat di obyek wisata Jatiluhur, Purwakarta. Di sela-sela lomba, saya mencoba menjelajahi sudut kecil objek wisata yang  diibaratkan sebagai mojang Purwakarta ini. Kebetulan, tempat berlangsungnya beberapa mata lomba tersebar di lokasi yang berbeda. Sambil menyelam minum air.
            Beberapa tahun yang lalu, saya pernah datang ke Jatiluhur ini. Namun, ketika saya menginjakkan kaki di sini kemarin, terlihat suasana yang berbeda. Fasilitasnya lebih lengkap. 
Menuju Bendungan

            Pesona utama obyek wisata jatiluhur ini adalah danau buatan yang terbentang luas. Kita bisa menikmati pesona ini pada pagi, sore dan malam hari. Pemandangan alam yang tersaji begitu menggoda mata. Paduan gunung, pohon dan air benar-benar memanjakan mata. Sayang rasanya, jika kita berpaling dari mojang Purwakarta ini.
            Pada sore hari, kita bisa menikmati keindahan ala mini sambil duduk-duduk santai di kawasan Istora. Ada sebuah restoran yang langsung berhadapan dengan danau ini. Kita bisa duduk menikmati hidangan yang tersaji, seperti kopi dan nasi goreng sambil menikmati kesejukan dan keindahan alam. Selain itu, kita juga bisa berjalan-jalan di sekitar kawasan ini. Berfoto-foto. Duduk di pinggir danau sambil menikmati udara sore.
            Bagi calon pengantin, kawasan istora ini bisa menjadi tempat foto prewedding. Suasana alam dan tempatnya sangat mendukung. Di sudut bawah restoran ada tempat khusus untuk pengambilan foto. Pesonanya menakjubkan. Saat berfoto di sini, kita seolah-olah sedang berada di atas kapal pesiar. Indah sekali. Foto yang dilakukan bisa dengan posisi berdiri atau duduk. Tempat ini dilengkapi dengan bangku dan gantungan bunga. Romantis sekali.
Tempat Foto Prewedding

Tempat Foto Prewedding

            Pada malam hari, kawasan danau ini biasanya digunakan untuk memancing. Salah satu fungsi danau jatiluhur ini merupakan tempat budidaya ikan. Di tengah danau banyak keramba-keramba ikan.

            Pada pagi hari, kawasan ini bisa menjadi ajang olah raga. Kemarin, saya bersama beberapa teman melakukan jalan kaki mengelilingi Gedung Graha Vidya.  Berbeda dengan udara Bandung yang dingin, kawasan Jatiluhur ini berudara hangat. Pagi itu, kami menyusuri jalan beraspal di bawah barisan pohon yang rindang. Kontur jalan yang naik turun melatih kaki dan jantung agar tetap sehat. Jalanan cukup sepi. Sekali-kali mobil pribadi atau angkot melintas menemani jalan santai kami. Selain itu, renang juga dapat kita lakukan di sini, karena Jatiluhur memiliki fasilitas kolam renang yang asyik. Kolam renang pertama ada di dalam gedung Graha Vidya dan kolam renang kedua ada di arena waterboom di kawasan Istora.
            Menjelang siang, kami menikmati keasrian playground di belakang gedung Graha Vidya. Ada gazebo yang bisa digunakan untuk duduk santai. Perahu kayu yang menghiasi taman. Ayunan. Perosotan bagi anak-anak. Di sini, ada juga arena bermain Pin Ball.
            Setelah puas berada di kawasan ini, kami menyusuri jalan menuju ke bawah. Ternyata, tak jauh dari sana, ada bendungan utama. Kebetulan ada serombongan mahasiswa teknik dari Garut yang akan melakukan kunjungan, sehingga pintu gerbang terbuka. Sebelum masuk, kami minta izin dulu pada petugas satpam. Ternyata, untuk masuk ke kawasan ini, harus mengurus izin terlebih dahulu. Kantornya ada di depan. Karena terlanjur sudah berada di sana, kami memberikan kartu pengenal pelatih FLS2N sebagai jaminan masuk. Bagi rombongan, tersedia pemandu wisata yang akan memberikan informasi lengkap tentang bendungan ini. Karena keterbatasan waktu, kami memilih berjalan sendiri.
            Kawasan ini berupa jalan panjang di atas benteng batu yang tinggi. Jarak dari gerbang menuju bendungan menurut pak satpam sekitar 500 meter. Kawasan inilah yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu. Saat melintasi jalan ini menggunakan bis, saat itu terlintas pikiran buruk. Jatuh ke danau. Namun, saat berjalan santai kemarin, pikiran buruk itu hilang. Malah, saya terpesona dengan keindahan alam danau dan bukit di sekitar kawasan itu. Bentuk danau yang melengkung, seperti teluk menorehkan nuansa tersendiri di hati dan pikiran saya. Sangat indah ! Sungguh hebat kekuasaan Allah SWT memberikan kemampuan luar biasa pada manusia-manusia yang berhasil membangun kawasan ini !
            Setelah puas menikmati bendungan, kami kembali menyusuri jalanan. Bingung juga akan kemana. Semalam, saya mendapat informasi ada tempat makan ikan bakar. Jadi, informasi itu, saya jadikan sebagai destinasi jalan-jalan kami selanjutnya. Nah, kebingungan mulai muncul. Kami harus kembali ke kawasan Istora. Jaraknya cukup jauh. Kurang dari setengah jam. Kemarin sore, beberapa kali bolak-balik dari kawasan Istora menuju bungalow tempat kami menginap, ada fasilitas bus jatiluhur yang nyaman dan juga kendaraan pribadi. Sekarang, kawasan ini sepi. Tak satupun mobil yang lewat. Akhirnya, kami memutuskan kembali jalan santai. Untungnya, tak berapa jauh, kami bertemu rombongan orang depok yang ingin menuju ke tempat yang sama. Mereka mencoba menghubungi temannya, minta dijemput dan diantarkan.  Namun, rupanya, jiwa backpacker kami lebih kuat. Beberapa saat setelah itu, muncul angkot kosong dengan supir yang baik hati. Dia banyak bercerita tentang kawasan ini. Dengan ongkos Rp 3.000,- per orang kami diantarkan ke tempat makan ikan bakar. Sang supir bercerita, ada dua tempat makan ikan bakar. Di pinggir danau dan di tengah danau. Jika ingin naik perahu, dia menyarankan untuk makan ikan di tengah danau. Bimbang melanda rombongan kecil kami. Akhirnya, kami memutuskan naik perahu terlebih dahulu.
            Ada dua dermaga. Saya menyebutnya dermaga rakyat dan dermaga wisata untuk naik perahu ini. Jika di dermaga wisata, ongkos naik perahu sekitar Rp 50.000,- per orang. Di dermaga rakyat, cukup setengahnya saja, yaitu sekitar Rp 25.000,- - Rp 30.000,- per orangnya. Jumlah penumpang perahu bebas.
            Naik perahu dari dermaga rakyat merupakan sensasi tersendiri. Jalanan sedikit becek, tapi untuk sampai ke perahu, jalanan becek itu ditutup dengan batangan-batangan kayu yang menyatu seperti jembatan pendek. Sebagai orang kota, meniti jembatan itu juga cukup menggelikan. Keinginan sih jalan cepat seperti Si Mang perahunya, apa daya kaki ini hanya mampu berjalan tertatih saja. Walaupun jembatan itu berada di tanah yang stabil, sugesti kaki terperosok di sela-sela bambu atau jatuh dipikiran ini begitu kuat melekat. Akhirnya, biar lambat asal selamat deh ! Sensasi berikutnya, saat naik ke perahu. Kami agak kesulitan menaiki perahu yang ukurannya lebih tinggi dari pinggang. Tak ada bangku penopang. Untungnya, diantara rombongan kami, ada laki-laki. Sesuai petunjuk tukang perahu, lelaki tersebut membantu kami naik. Keriuhan kecilpun terjadi saat itu, karena perahu bergoyang-goyang., Kami semua merasa ketakutan. Takut perahu terbalik. “Ah, pikiran buruk itu selalu saja menggoda dan menakut-nakuti kami.”
“Mbokya diem gitu lho perahu, kami kan akan naik,” pikirku.
“Yaa, gak bisalah Mbak, aku kan berada di atas air yang tak akan pernah diam stabil,” jawab perahu.
“Betul juga, ya!” balasku sambil tersenyum kecil.

             Setelah kesulitan itu, ada keindahan. Itulah yang kami dapatkan setelah perahu ini berjalan menyusuri danau. Perahu terasa stabil karena mesin sudah beraksi. Selepas mata memandang, pesona mojang Purwakarta ini kembali menyergap kami. Panas matahari ditutupi layar perahu, sehingga adem terasa. Terpaan angin menerpa wajah kami. Mata dimanjakan oleh bukit-bukit yang mengelilingi danau. Nun jauh di sana, bendungan utama yang telah kami kunjungi tadi, menjadi saksi petualangan ini. Perahupun menyusuri puluhan tempat makan ikan dan jarring-jaring terapung. Sayangnya, setelah jauh meninggalkan dermaga, keindahan alam ini ternodai oleh sampah dan polusi udara. Semoga tidak semakin parah, ya !
            Setelah pelayaran yang cukup jauh dan lama ini, kami kembali ke dermaga. Beberapa teman, membeli ikan asin yang dijajakan di sana sebagai oleh-oleh. Harga termahal adalah Rp 25.000,- per bungkus. Ikan asin patin yang mirip dengan jambal roti di Pangandaran. Yang paling favorit adalah ikan asin yang berharga Rp 5.000,- per bungkusnya. Setelah itu, kami kembali naik angkot. Rombongan depok kembali ke tempat makan ikan bakar, Yadi. Sedangkan, kami kembali ke gedung Graha Vidya tempat berlangsungnya lomba story telling. Rencananya, setelah selesai lomba, kamipun akan makan ikan bakar bersama kontingen kami.
Wisata Kuliner
            Di bendungan Jatiluhur ini, kita bisa berwisata kuliner juga. Mulai dari harga yang murah sampai yang mahal. Mulai dari suasana yang nyaman, merakyat dan pinggir jalan. Aneka rasa ada di sini.
            Kuliner dengan harga yang cukup mahal ada di restoran yang berada di kawasan Istora atau Graha Vidya. Segelas capucino biasa mencapai harga Rp 25.000,-. Selain itu, tersedia juga nasi goreng, pisang goreng dan singkong goreng. Cemilan yang cocok untuk menikmati keindahan alam sekitar danau Jatiluhur.
            Makanan dengan harga yang murah ada di warung-warung sederhana yang terletak di bawah gedung Graha Vidya. Di sini, kita bisa menemukan kopi susu, atau minuman sachet lainnya. Bisa juga menikmati makan pagi dengan hidangan lengkap, seperti: nasi, tumis paria, telor bumbu rujak, ayam goreng dan lain-lain. Kita tinggal memilih lauk kesukaan masing-masing. Ada juga aneka gorengan. Seporsi nasi itu cukup membayar seharga kurang lebih sepuluh ribu rupiah saja.
Sore hari, banyak juga pedagang keliling. Ada cuanki, mie baso kampung yang legit, cendol dan cincau dengan harga yang tidak menguras kantong. Semangkok baso kampung sekitar sepuluh ribu. Rasanya pun pas di lidah.
            Sebagai tempat budidaya ikan, tak lengkap rasanya, jika tidak ada kuliner berbau ikan. Jika ingin menyantap ikan bakar, tinggal pergi ke arah dermaga.
            Jika kita berasal dari arah gerbang, tinggal turun ke bawah sampai ujung jalan. Belok kanan ke kawasan Istora, belok kiri ke arah waterboom dan dermaga. Di sana, banyak tempat makan bakar ikan yang bisa kita pilih. Katanya, tempat makan ikan bakar paling enak adalah Bapak Edi.
            Kuliner lain yang juga menjadi topik hangat dengan rasa yang enak adalah sop kaki Bu Enung. Rumah makan ini letaknya tak jauh dari gerbang utama Jatiluhur. Tinggal belok kiri sedikit.
Akomodasi dan Transportasi
            Kawasan wisata Jatiluhur ini cukup mudah dijangkau. Ada jalan tol yang bisa mempermudah dan mempercepat kita tiba di lokasi ini. Kemarin, dari Cimahi, kita bisa menempuh waktu kurang dari dua jam.
            Untuk menuju ke kawasan ini, kita bisa menggunakan mobil pribadi atau kendaraan umum. Jika menggunakan bis, kita harus turun di terminal Ciganea, lalu dilanjutkan dengan angkot merah Ciganea-Jatiluhur.
Ongkos angkot sekitar Rp 8.000,-. Di dalam area juga beroperasi semacam bis wisata, tapi hanya ada dua buah. Jadi, kita akan terkendala untuk memakainya. Terlebih lagi jika bis itu digunakan untuk menjemput rombongan, maka kita takkan bisa terangkut.
            Jika ingin menginap, kita bisa menyewa bungalow atau hotel. Harga sewa bungalow sekitar Rp 500.000,-
            Banyak pilihan bungalow dengan nama-nama bunga, seperti : Kenanga, Aster, Bougenvile dan lain-lain. Bungalow yang saya tempati kemarin adalah Bougenville. Letaknya persis di depan gedung Graha Vidya. Ruangannya cukup luas. Ada dua kamar tidur dengan kamar mandi di dalam. Salah satunya menggunakan bathtub. Selain itu ada juga dapur dan kamar mandi di belakang (dekat dapur). Fasilitas lainnya adalah sofa, televisi dan AC. Bungalow ini bersih, tertata dan nyaman.

Sekilas Bendungan Jatiluhur
            Bendungan Jatiluhur ini terletak di kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Bendungan ini berada sekitar 9 km dari pusat kota Purwakarta yang berhawa panas.
Bendungan ini dikenal juga dengan nama waduk Ir. H. Djuanda. Penamaan ini dimaksudkan sebagai bentuk  penghargaan kepada perdana mentri terakhir  Indonesia yang telah berjuang dalam mencari pendanaan bagi pembangunan waduk buatan ini.
Waduk ini merupakan bendungan terbesar dan serbaguna pertama di Indonesia. Dibangun mulai tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis yang berpengalaman dalam pembangunan waduk besar di dunia. Namun, akibat peristiwa G 30 S/PKI, kontraktor itu tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Pada akhirnya, penyelesaian pembangunan waduk ini dilakukan oleh tenaga-tenaga ahli dari Indonesia. Pembangunan waduk ini memakan waktu selama kurang lebih sepuluh tahun.
            Waduk atau bendungan jatiluhur ini berfungsi sebagai tempat budidaya perikanan, penyediaan air irigasi untuk 242.000 ha sawah, air baku air minum, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan pengendalian banjir.
            Waduk ini memiliki potensi air sekitar 12,9 miliar m3/tahun. Air ini diperoleh dengan membendung aliran sungai terbesar di Jawa Barat, yaitu Citarum. Di sini, terdapat 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 mw. Turbin-turbin itu mampu memproduksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh tiap tahun. Pengelolaan obyek wisata ini berada di bawah naungan Perum Jasa Tirta II.
            Sebagai tempat rekreasi, kawasan Jatiluhur ini dilengkapi dengan fasilitas hotel, bungalow, bar, restoran, lapangan tenis, bilyard, perkemahan, kolam renang water slide,  ruang pertemuan, playground, sarana rekreasi dan olah raga air, seperti : mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air dan boating.
            Jadi, tunggu apalagi ? Waktu liburan telah dekat, maka kita bisa menikmati kenyamanan berwisata di waduk Jatiluhur ini. Aku cinta, Anda cinta alam Indonesia. Pesona wisata Indonesia juga tak kalah menarik dari pesona wisata negara lain.   Selamat berlibur dan berwisata !















2/09/2016

RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA



Sejak kecil dulu, hampir setiap saat, saya selalu akrab melewati rumah ini. Sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan besar. Banyak cerita yang melingkupi rumah ini. Angker. Rumah berhantu. Juga sering digunakan untuk syuting sinetron. Kabarnya sinetron yang angker juga.
            Dari pinggir jalan besar, rumah ini hanya terlihat bagian atapnya saja. Mengapa ? di sekelilingnya terdapat banyak pohon-pohon besar. Dalam pikiran anak kecil, saya menyebutnya sebagai sebuah hutan. Hutan di tengah kota. Rindang dengan pepohonan dan gelap. Benar-benar menakutkan.
Rumah Kebon Kopi

            Lama tak mendengar kabar tentang rumah ini. Tiba-tiba, seorang kawan saya mengajak untuk menjelajahi rumah tua tersebut bersama dengan komunitas Tjimahi Herritage. Rumah ini terletak di pinggir jalan raya Cimahi-Bandung, khususnya daerah Kebon Kopi Cibeureum Cimahi. Minggu, 31 Januari 2016 kemarin, akhirnya saya dan teman-teman berhasil menjelajahi rumah bersejarah ini. Kondisinya sangat jauh berbeda dari bayangan masa kecil dulu. 
Peserta Jelajah Rumah Kebon Kopi

            Bagian luarnya sudah sangat lapang. Pohon-pohon rindang yang dulu menutupinya, sudah hilang, berganti taksi-taksi biru. Tinggal sisi bagian kanan yang masih menyisakan sejarah. Kabar terakhir, rumah ini sudah dijual pada sebuah perusahaan taksi terkenal di Bandung, Bluebird. Perusahaan tersebut berkomitmen untuk tetap melestarikan bangunan tersebut, walau harus merehabnya. Ya, rumah tua itu sudah banyak termakan usia.
            Rumah kuno itu saya namakan dengan RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA. Bagian luarnya memang mirip dengan rumah gaya Eropa dengan tiang-tiang kokoh seperti bangunan Yunani. Kalau tidak salah berjumlah enam buah. Hanya di bagian atas ada nuansa lokal, yaitu ukiran bunga (melati).
Hiasan Lantai luar

            Sebelum memasuki bagian dalam, kami mendapat penjelasan tentang sejarah kopi dan  rumah ini dari Kang Machmud Mubarok dan Kang Mochamad Sopian Ansori. Ternyata rumah ini terkait erat dengan sejarah perkebunan kopi. Boleh dibilang menakjubkan, karena melanggar kebiasaan syarat menanam kopi. Tanaman kopi biasanya membutuhkan ketinggian minimal 700 m dpl, sedangkan di sini hanya sekitar 650 m dpl. Jadi, pohon rindang yang dulu menyelimuti rumah ini ternyata oh ternyata adalah tanaman kopi yang tinggi-tinggi. Alasan inilah yang melatarbelakangi daerah ini bernama Kebon Kopi.
Kang M. Sophian

Kang Machmud

SEJARAH KOPI DI INDONESIA
Wow, ternyata kotaku ini bagian dari sejarah masa lalu yang kini sedang dibangkitkan lagi. Kopi nasional, produk Priangan, Produk Indonesia. Ah, rasanya bangga juga tinggal di kota yang termasuk bagian sejarah itu. Sekaligus juga miris mendengar kisahnya. Javana oh Javana !
Kopi di tanah Priangan berasal dari wilayah Malabar India. Seorang kapten VOC, Adrian van Ommen membawa kopi Arabica pada tahun 1696. Pada awalnya, penanaman kopi di Indonesia ini mengalami kegagalan akibat banjir Batavia. Namun, akhirnya mambawa hasil setelah kopi tersebut ditanam di daerah Bidara Cina, Kampung Melayu, Sukabumi, dan Sudimara. Kopi-kopi inilah yang pada akhirnya membawa kejayaan pada VOC. Kopi-kopi tersebut berhasil menguasai pasaran dunia. Akibatnya, muncullah perjanjian VOC dengan para bupati Priangan untuk memperluas penanaman kopi di Priangan. Salah satunya adalah Bupati Cianjur, Aria Wiratanudatar. 
Program Komputer ini berawal dari kejayaan kopi Indonesia di mata dunia

Pada tahun 1786, setengah kopi yang dihasilkan berasal dari lereng-lereng Gunung Gede di Cianjur dan sebagian lagi dari sekitar Bandung. Kejayaan kopi di pasar dunia membawa kemakmuran bagi VOCselama hampir dua abad, juga para bupati Priangan. Namun, kemudian akibat korupsi, VOC mengalami kebangkrutan hingga terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan.
Setelah menyengsarakan rakyat, tahun 1876, Hindia Belanda ditimpa petaka dengan hancurnya tanaman kopi akibat penyakit karat daun. Penyakit itu meluas sehingga melumpuhkan perdagangan kopi dunia. Dalam situasi gawat tersebut, Brazil dan Kolombia akhirnya mengambil alih kekuasaan perdagangan kopi dunia sampai sekarang.
Setelah mendengar penjelasan sejarah perkebunan kopi, akhirnya kami dibagi menjadi dua rombongan. Secara bergantian, kedua rombongan itu menjelajahi bagian dalam rumah. Lalu, menjelajahi halaman belakangnya.
MISTERI RUMAH TUA
Ketika memasuki bagian dalam, kawanku berkata, “ Aku kok seperti mengenal betul rumah ini. “
“Ya, jelaslah, wong kamu sering pulang ke Jawa. Pemilik rumah ini kan orang Jawa. Trenggalek !” jawabku sambil tersenyum.
Inilah kejutan pertama. Rumah bergaya kolonial ini bukan milik para bangsawan Eropa (Belanda) tapi milik pribumi. Seorang tuan tanah asal Trenggalek, Jawa Timur. Diperkirakan rumah ini milik Wangsadiredja. Kejayaan kopi membawa kemakmuran. Rumah inilah buktinya. Kemewahan arsitektur Eropa dipadukan dengan nuansa jawa di bagian dalamnya. Salah satunya melalui pintu-pintu kayu yang kokoh dan tinggi, lengkap dengan kunci khas dari masa lalu. Besi-besi panjang yang terkait di bagian atas dan palang kayu. Itulah kejutan keduanya. Rumah ini bukan istana raja Eropa.
Peserta menjelajahi bagian dalam rumah

Rumah yang sangat luas ini memiliki enam buah kamar dengan ukuran yang cukup luas. Yang menarik, di tengah-tengah bagian rumah masih ada sumur yang masih terlihat bagus. Walaupun dikelilingi ilalang yang sangat tinggi.
Miris hati ini ketika memasuki bagian dalam. Seperti VOC, rumah ini benar-benar diambang kehancuran. Beberapa bagian rumah tampak tak terawat. Atap-atap banyak yang tinggal menunggu waktu jatuh. 
Kejutan ketiga, ada di halaman belakang. Halaman yang masih memiliki nuansa hutan itu ternyata merupakan pemakaman keluarga. Kurang lebih ada lima baris makam dengan berbagai model makam. Cina dan Muslim. Sangat terawat. Bersih. Rapi. Tulisan di nisan sebagian besar menggunakan bahasa Sunda. Sayang, sebagian nama-namanya kurang jelas terbaca.
  Sebelum sampai kompleks pemakaman tersebut, kami harus menjelajahi hutan kecil dan juga jalan setapak yang dipenuhi dengan guguran daun-daun. Cukup tebal dan empuk ketika diinjak.
Saat pulang, setelah mendapat restu dari penjaga,  seorang kawanku yang lain mengambil beberapa buah Ganitri untuk dijadikan gelang yang unik. Buahnya berwarna biru terang. Bagian dalamnya berwarna coklat muda. Bergerigi.
Dengan terkumpulnya buah Ganitri di wadah, berakhir pula petualangan kami hari itu. Menjelajahi RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA. Setelah itu, kami kembali berkumpul di teras depan untuk berkenalan dan membacakan Novel Max Havelar secara bergantian. Konon kabarnya, rumah tua ini pernah digunakan untuk syuting film salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesiatersebut.
Reading Novel Max Havelar

Menjelang dzuhur, kamipun membubarkan diri dengan membawa kenangan masa lalu, pengetahuan baru, dan kawan baru. Sampai jumpa di petualangan berikutnya, ya ! Salam Sejarah ! Salam Sastra !
Dari sejarah, kita bercermin untuk kebaikan di masa yang akan datang. Memaknai sejarah sami sareng memaknai hidup !

           

Featured Post

Fiksi Mini: Aurora

  Semangat sekali aku menyambut tahun ajaran baru ini. Setelah liburan selama dua minggu, energiku terisi penuh. Langkahku tegap menuju kela...