Mobil
melaju membelah malam. Selepas Magrib tadi, kami bertiga berangkat untuk
menunaikan tugas negara. Check-in hotel pukul 20.00 WIB. Tulisan yang
paling kuingat dalam surat tugas itu.
Hati
kami tak rela pergi jauh dari keluarga. Meninggalkan anak kecil di rumah.
Berita gempa besar yang sering terjadi akhir-akhir ini, membuat kami waswas.
Bagaimana kalau gempa terjadi lagi? Siapa yang akan menggendong si Bungsu?
Jantung semakin berdegup kencang ketika si Bungsu menangis sejadi-jadinya saat
aku pergi. Seolah pertanda akan berpisah jauh.
Udara
malam yang mulai dingin di daerah Puncak Bogor membuatku menutup jendela kaca
mobil. Dingin di luar semakin membekukan hati kami, para pejuang rupiah.
“Alamatnya
di mana?” tanya pak Raka, suami Bu Yuli yang mengantarkan kami.
“Jalan
Raya Cipanas No. 6 Puncak Cipanas Cianjur,” jawabku setelah membuka kembali
surat tugas yang kami terima.
Kepala
kami bertiga jadi semakin waspada membaca papan nama hotel. Takut terlewat.
Mobil melaju lebih lambat.
“Itu
dia, sebelah kanan!” kata Ine, temanku.
Suasana
hotel yang redup menyambut kedatangan kami. Cukup luas juga halaman hotel ini.
Pak Raka mencari tempat parkir yang tak jauh dari lobi utama. Jam menunjuk
angka sepuluh. Kami celingak-celinguk
menatap sekeliling.
“Kok,
sepi sekali ya,” bisikku dalam hati.
“Mana
spanduk acaranya, ya?” timpal Bu Yulia.
Kami
segera ke meja resepsionis.
“Menginap
Bu, untuk berapa orang?” tanya petugas ramah.
“Kami
peserta acara ini, Mbak!” jawabku sambil menunjukkan surat tugas.
“Oh,
masuk hotelnya besok pukul 14 siang, Bu! Sekarang belum ada siapa-siapa.
Panitia pun baru datang besok pagi,” ujarnya memberi jawaban sekaligus membuat
kami jadi mendadak linglung.
“Besok
siang?” spontan kami saling tatap. Kami terdiam.
Tangisan
si Bungsu tiba-tiba saja melintas di kepalaku.
“Kita
kembali ke mobil saja dulu, yuk!” ajak Bu Yuli.
“Kita
menginap di sini atau mencari penginapan yang lain?” tanya Bu Yuli memecah
kebuntuan.
“Kita
keliling dulu, cari penginapan lain! Harga di sini bikin nafas sesak. Sakuku
rata,” Jawab kami berdua serempak. Honor sebulan masih belum cukup untuk
membayar tidur di hotel ini.
Mobil
pun kembali meninggalkan halaman hotel. Kepala dan mata kami kembali menatap
tajam nama-nama hotel dan penginapan di sepanjang jalan Puncak ini.
“Itu dia. Seperti kamar-kamar kos,” teriakku
memecah kebuntuan. Aku menunjuk bangunan berwarna putih yang sudah terlewati.
Sebuah harapan baru di antara deretan hotel yang tak sesuai dengan saku kami.
Mobil
pun berputar arah. “Ada kamar kosong, Pak?” tanyaku pada penjaga. “Ada banyak,”
balasnya.
Kami
pun segera membawa koper-koper kecil untuk dibawa masuk. Jam berdentang seperti
Cinderela melepaskan sepatu kacanya. Malam itu juga, pak Raka kembali pulang.
Kami
bertiga bisa beristirahat di sebuah kamar dengan kasur yang cukup luas. Kantuk
menyerang.
Tiba-tiba
kamar bergetar hebat. Gempa... Gempa... Gempa... Spontan kami melompat dari
tempat tidur. Buru-buru keluar kamar. Siaga. Bumi berguncang.
Penjaga
melewati kami. “Gempa lagi, ya pak?” tanyaku cemas. Pikiranku melayang pada Si
Bungsu.
“Oh,
bukan Bu. Itu hanya mobil besar yang lewat. Truk dan bus. Kalau ada mobil
besar, memang seperti gempa di sini mah,” jawabnya menjelaskan dengan logat
Sunda khas Cianjur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar