2/12/2012

TRAVELING


PERJALANAN KE KAMPUNG TOGA

            Kriiiing ! Aku segera mengangkat hp. "Teh, Minggu udah ada acara belum?" tanya adikku. Belum ! jawabku. "Kita, keluarga besar mau jalan-jalan, ikut? tanya adikku. "Wah kalau urusan jjs mah tak pernah mau ketinggalan!" jawabku semangat. "Ok, nanti Minggu dijemput jam tujuh. Siap ya!" sambungnya lagi sambil menutup telepon. Asyiiik.
            Minggu, 25 Desember 2011, aku dan keluarga besarku akhirnya mengadakan perjalanan ke kota Sumedang. Sebuah tempat wisata bernama Kampung Toga tujuan kami. Kami menggunakan dua mobil. Mobilku berisi sembilan orang, dewasa dan anak-anak. Mobil saudaraku berisi sepuluh orang, mertua adikku, saudara iparnya, serta anak-anaknya.
            Cuaca agak mendung tapi tak turun hujan. Perjalanan dari Bandung ke Cileunyi lumayan lancar. Kami menikmati perjalanan dalam suhu udara yang bersahabat, favorit kami. Tidak panas, tapi juga tidak dingin ( hujan ). Mobil memasuki daerah Jatinangor. Macet parah. Saudaraku memutuskan mengambil jalur Parakan Muncang untuk menghindari macet. Balik arah. Saat sampai di daerah Rancaekek, kulihat banyak kendaraan yang akan melakukan perjalanan juga. Kijang-kijang penuh dengan orang-orang yang ingin berlibur. Aneka barang bawaan memenuhi mobil. Karung, dus, baju, makanan dan lain sebagainya. Di dalam dan di luar mobil. Penuh sekali! Mobil-mobil itu saling berpacu menuju tempat tujuannya masing-masing. Berlomba dengan cuaca mendung. Tak terasa kami tiba di persimpangan Parakan Muncang. Mobil berbelok dan mulai menelusuri jalan alternatif menuju kota Sumedang. Alhamdulillah lancar.
            Menjelang memasuki daerah Cadas Pangeran,  hujanpun turun. Gerimis. Makin lama makin deras. Udara agak berkabut. Kami memasuki kota Sumedang. Berputar, karena jalan masuk ke kota ditutup. Akibatnya, saudaraku kebingungan mencari jalan menuju Kampung Toga. Kami  tersesat. Kami berputar-putar mencari jalan menuju Kampung Toga. Kios tahu yang menjadi patokan arah ternyata salah. Bukan tukang tahu itu yang kami cari. "Memangnya Kampung Toga itu dimana ?" tanyaku ingin tahu. Aku belum pernah ke sana. Saudaraku yang lain sudah tiga kali mengunjunginya. Gara-gara Sumedang kota tahu jadi linglung. Hehehe …. (gak nyambung ya )." Jalannya yang mau ke makam Cut Nyak Dien," jelas saudaraku. "Oh, itu. Belok kiri saja," jawabku memberi petunjuk jalan. Kamipun menelusuri jalan Cut Nyak Dien. Dalam perasaan was-was takut tak sampai ke tempat tujuan. Akhirnya, kami menemukan tukang tahu yang kami cari itu. Yes, betul dalam sebuah gerbang tertulis Kampung Toga dengan ukuran yang lumayan besar. Dengan mantap. Mobilpun meluncur ke Kampung Toga.
            Hanya dalam waktu sekitar dua puluh menit, kami tiba di tempat tujuan. Hujan yang tadi sudah mulai reda, turun kembali. Waktu menunjukkkan pukul 12.30. Kami memutuskan untuk menunaikan Shalat Dhuhur terlebih dahulu sambil menunggu hujan reda. Semua barang dan makanan kami bawa ke mushola. Setelah selesai shalat, hujan tak kunjung berhenti. Malah semakin deras. " Kita makan saja dulu!" ujar ibu Alem. Akhirnya, kami membuka bekal makan siang dan menatanya di teras belakang mushola. Di depannya, terhampar pemandangan hijau, gunung yang rimbun dengan pepohonan. Cuci mata. Sayangnya, tempat itu sempit, sehingga kami tidak bisa ngariung. Jadilah, makanan lengkap di atas piring dioper dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Sampai semua orang mendapatkan makan siangnya.  Nasi timbel hangat dan pulen, pepes ikan, rempeyek, tempe, tahu, lalab, sambal adalah menu makan siang kami di Kampung Toga. Mmmmhhh…. Nikmat! Hujan tetap mengiringi kami sampai selesai makan siang. Acara berlibur di Kampung Toga terancam gagal. Padahal kami tinggal selangkah berada di dalamnya.
            Hujan tak henti-hentinya mengguyur Kampung Toga. Semakin deras saja setiap waktunya. Kabut mulai turun. Angin memaksa kami masuk ke mushola. Butir-butir air hujan membasahi tubuh kami. Payungku hampir terbang  tersapu angin. Kami menunggu hujan reda. Anak-anak berlarian di dalam mushola dengan riang. Kami bercakap-cakap. Bapak-bapak tidur-tiduran beralaskan lantai kayu yang hangat. Berjam-jam kami menunggu. Anak-anak mulai merajuk. Saudara ipar adikku mengeluarkan videonya. Mengambil gambar. Foto-foto. Anak-anakpun kembali riang.
            Tiga jam telah berlalu. Dua jam lagi tempat wisata Kampung Toga akan tutup. Hujan tetap tak mau kompromi. Kami mulai menyusun rencana baru. Kembali ke Bandung dan mengganti liburan ini dengan acara yang lain. Berenang di Karang Setra, nonton bioskop dan acara menarik  yang lainnya. Anak-anak protes. Konflik mulai muncul. Orang tua takut anak-anak jatuh sakit. Anak-anak tidak mau tahu, mereka tetap ingin berenang di Kampung Toga walaupun dibawah guyuran hujan. Anak-anak mulai ngambek.
            Hujan mereda. Kami membeli tiket masuk. Anak-anakpun riang. Kami memasuki tempat wisata Kampung Toga. Ada hal yang menarik. Pengunjung lain keluar setelah puas menikmati Kampung Toga. Berbasah-basah ria. Kami berhujan-hujan masuk ke Kampung Toga untuk berenang. Aku menapaki jalan yang banjir akibat hujan tadi. Air mengalir ke tangga di bawah. Aku mengedarkan pandangan. Oh, Kampung Toga mirip Sabda Alam di Garut. Kolam pertama banyak digunakan oleh orang dewasa. Kolamnya dalam katanya. Lalu, ada kolam terapi ikan. Di dekatnya ada kios makanan. Pengunjung tinggal sedikit. Kami turun menuju kolam anak-anak. Kosong. Anak-anak yang sudah berbaju renang sejak di mushola tadi langsung nyebur. Akhirnya, mereka bisa berenang di Kampung Toga. Hujanpun reda menjelang sore. Anak-anak berdiri di tengah kolam, menanti guyuran air dari ember besar di atasnya. Byuuurrr. Mereka tertawa senang.  Kami pun mulai ikut bergabung. Juga sebuah keluarga lain. Kami bermain air dibawah guyuran hujan kembali. Setelah cukup puas berbasah-basahan, beberapa orang dewasa menuju kolam terapi ikan. Akupun mengikutinya. Ih, geli tapi enak . Digigit-gigit lembut oleh segerombolan ikan berasa disetrum dengan watt listrik yang ringan. Kamipun menikmati liburan itu selama kurang lebih dua jam.
            Menjelang magrib, kami pun pulang kembali menuju Bandung. Tidak lupa membeli tahu Sumedang di kota sebagai oleh-oleh. Perjalanan memakan waktu satu setengah hingga dua jam sampai di rumah. Ternyata? Macet di Cadas Pangeran sampai Tanjung sari menunda perjalanan kami.  Mobil tak bergerak. Merayap menuju Bandung. Kami kembali menelusuri jalan Parakan muncang dengan was-was. Informasi dari radio, Rancaekek banjir dan macet parah. Bahkan ada mobil kijang yang meledak. Namun, polisi, memaksa kami menempuh jalan ini. Mobil-mobilpun mengular panjang menyusuri jalan alternatif ini pada pukul delapan malam. Gelap gulita. Tiba-tiba mobil berbalik arah. "Aauuooww… awas ada motor!" teriakku kaget. Di depan mobil, sawah membentang. "Sudah terima nasib saja, mengikuti kemacetan," kata adikku pada suaminya. Akhirnya, kami kembali ke jalan semula. Berharap-harap cemas menempuh banjir dan macet panjang. Dalam keremangan malam, kulihat dari kejauhan mobil-mobil berbelok ke arah kanan.  "Mereka mau kemana?" "Ikuti dan tanyakan saja arahnya!" Beberapa pemuda memandu kami.  "Jatinangor…Jatinangor… Jatinngor," teriaknya. Bagus. Mobil kamipun menyusuri jalanan yang belum diketahui ini. Kami meraba-raba, mobil ini akan tiba di kampus UNPAD.  Beberapa mobil lainpun mengikuti kami. Aku tak bisa melihat mobil saudaraku. Tenggelam dalam kegelapan.
            Wow, kami menyusuri sawah. Berlumpur-lumpur. Suara bangkong menemani perjalanan kami. Rasanya seperti berada di masa lalu, masa kecil. Mobil tetap merayap di jalan kecil itu. Menyusuri perkampungan. Lalu berganti dengan rumah-rumah bagus menyambut kami. Sekitar satu jam kemudian, kami keluar dari jalan baru itu. Kalian tahu di mana? Tanjungsari! "Wah, katanya Jatinangor," ujar adikku. "Ya, Jatinangor nyingcet," jawabku. Semuanya tergelak menyikapi penipuan kecil ini. Kamipun melanjutkan perjalanan. Macet masih terjadi tapi tidak separah tadi. Sekitar jam sepuluh malam, kami telah sampai di rumah adikku. Aku terpaksa menginap. Kasihan kalau harus terus melanjutkan perjalanan ke Bandung. Mereka harus bekerja besok pagi. Iparku menelepon saudaranya. Ternyata mereka terjebak kemacetan parah di Rancaekek. Alhamdulillah, penipuan tadi telah menyelamatkan kami. Kami bisa segera beristirahat. Malampun meninabobokan kami. Lelap setelah menempuh perjalanan natal yang seru. Sebuah kejutan besar menanti kami keesokan paginya. Saudaraku itu, mobil yang satu lagi sampai di Bandung, di rumahnya, pada pukul empat subuh. Fantastis bukan ?! Jarak Rancaekek-Bandung yang pendek itu ditempuh sama dengan perjalanan jauh ke Jogjakarta. Sepuluh jam !
            Perjalanan natal ini menguji kesabaran kami.  Kemacetan adalah hal yang biasa di zaman modern ini. Tak bisa dihindari lagi. Terlebih saat musim liburan. Jalan-jalan alternatifpun sudah identik dengan kemacetan.  Jika ingin berlibur, kita harus menerima resiko ini. Kemacetan harus dianggap sebagai sebuah anugrah. Nikmati saja! Mengutukinya hanyalah akan menjadi sebuah kelelahan yang teramat panjang. Marah-marah padanya hanya akan menguras tenaga tanpa hasil. Sia-sia! Masgul atau kecewa dengannya hanya akan menjadi rasa sakit yang luar bisa nyeri. So, berdamailah dengan kemacetan agar jiwa, pikiran dan tubuh kita tetap sehat ! (ARUNDINA, 2012 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Dua Puisiku di Bulan September

                                                                                    Peristiwa Sumber Inspirasi                              ...